Bagian 17

558 67 11
                                    

Abimana

Sa, coba cek berkas gue. Ada yang kurang, gak?

Nusa menuruni tangga selagi mengunduh fail dari Abim. Pengumuman pendaftaran ketua OSIS yang telah disebarkan kemarin sore membuat temannya itu bergerak cepat. Abim langsung mengirim berkas persyaratan ke Nusa tadi malam untuk dimintakan pendapat. Akan tetapi, pesan dan panggilan lain yang menumpuk setelah dua hari ponselnya nonaktif membuat pesan dari Abim baru sempat Nusa buka pagi ini.

Berbagai hidangan sudah tertata rapi di atas meja ketika Nusa sampai di ruang makan. Lelaki itu mengantongi ponselnya ketika mendapati Rossa telah lebih dulu berada di sana. Pandangan Nusa sontak terfokus pada sang mama. Wanita itu telah siap dengan setelan kerja seperti biasa. Gurat lelah masih tergambar jelas di raut Rossa meski sosok itu telah menutupinya dengan mekap. "Mama udah enakan?" tanyanya. Pikiran Nusa sontak kembali pada kejadian kemarin sore kala sang ibu memeluknya erat selagi terisak. Kondisi Rossa benar-benar kacau saat itu.

Hanya gumaman yang Nusa dapat sebagai jawaban. Wanita yang ia sapa mama itu seolah mengabaikannya. Berdalih urusan pekerjaan, tiada sedikit pun sosok itu memandang putra semata wayangnya dan tenggelam oleh kesibukan berbalas pesan lewat ponsel.

"Alhamdulillah kalau gitu," ucap Nusa selagi mendudukkan diri di depan Rossa.

Tidak ada percakapan yang terjadi setelahnya. Rossa telah kembali seperti sosok biasanya yang sangat bertolak belakang dengan apa yang ia tunjukkan kemarin. Nusa menghela napas panjang. Berniat kembali membuka ponsel selagi menunggu Hadyan, tetapi urung karena sosok yang mereka tunggu tak berselang lama muncul.

"Kamu ada acara apa hari ini?" Hadyan mengernyit heran setelah sampai di meja makan. Pertanyaan itu ia lempar kepada putranya saat mendapati penampilan Nusa.

"Enggak ada. Kenapa, Pa?" respons Nusa. Ia tak mengerti alasan sang papa menatapnya dengan tak wajar.

"Seragammu."

Nusa menunduk. Memeriksa pakaiannya setelah mendapat jawaban dari Hadyan.

"Astaghfirullah Mas Nusa ...." Mira tak bisa menahan tawa selagi datang dari arah dapur ketika melihat penampilan tuan mudanya. Hari ini Senin, tapi Nusa telah rapi dengan seragam cokelat Pramukanya, lengkap dengan hasduk yang menggantung di leher lelaki itu. "Mbak gantungin baju di bekalang pintu bukan buat dipakai hari ini juga, Mas." Ia masih terkikik geli selagi menyajikan teh di hadapan Hadyan. Kejadian itu sontak mengundang atensi Rossa.

Sedikit tercengang akan kelakuannya pagi ini, tetapi Nusa menutupinya dengan turut tertawa. Ia tak sadar ketika keluar dari kamar mandi tadi, sontak berganti pakain dengan seragam yang Mira simpan di belakang pintu. Padahal ia telah menyiapkan seragam putih abu-abu di atas kasur.

"Bisa-bisanya Mas Nusa," Mira masih terheran, "padahal biasanya seragam OSIS yang harusnya dipakai Senin sama Selasa aja tahu jeli banget bedainnya sampai-sampai ke kaus kakinya."

"Kayanya lagi banyak banget yang dipikirin, Mbak, sampai tadi asal pakai seragam." Nusa menyeletuk asal. Ia merasa ada yang berubah dengan dirinya beberapa minggu terakhir. Belakangan ini ia sering melupakan hal-hal kecil. Pun tidak sekali dua kali ia tiba-tiba kehilangan konsentrasi. Padahal sebelumnya, sesibuk apa kegiatan dirinya di sekolah, Nusa masih dapat menangani semuanya dengan rapi.

Lelaki itu bangkit berdiri. Berniat mengganti pakain sebelum terlambat ke sekolah. "Papa sama Mama sarapan dulu aja. Aku nanti nyusul habis selesai ganti seragam."

Rossa mengamati punggung Nusa selagi lelaki itu beranjak. Ia sadar jika mulai ada yang aneh dengan sosok putranya.

***

Nusa SagaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang