36 | The Best Thing
"AKU dengar Shikamaru belum juga menerima konsep Shion, apa itu benar?" Hinata membuka matanya, ia menoleh pada sang suami yang pagi ini ikut meditasi bersamanya. Naruto hanya bergumam tidak jelas ketika menjawab pertanyaan istrinya. Selalu ingin melarikan diri jika Hinata membahas orang yang sama.
Hinata menyipitkan matanya.
"Mengapa belum diterima?" Tubuh Hinata yang kian membesar kini menghadap suaminya sedikit kepayahan, Naruto masih memejamkan matanya, baru ketika Hinata memukul pelan bahu suaminya, Naruto membuka mata dan menoleh ke sebelahnya.
"Aku tidak tahu, Shikamaru yang mengurusnya, sungguh." Naruto buru-buru menjelaskan, ia ikut menghadap ke arah istrinya yang kini terlihat begitu cantik menggelung rambutnya, jejak keringat di kening Hinata terhias sehabis melakukan beberapa gerakan yoga. Naruto pagi ini tidak berangkat ke kantor, karena Hinata ingin di temani. Istrinya tidak ingin lagi mengikuti klub yoga, setelah sebulan mengikuti, Hinata memutuskan melakukannya di rumah saja karena banyak bagian rumah dan beranda luas yang cocok digunakan untuk yoga.
"Jangan pura-pura tidak tahu, katakan saja aku tidak keberatan mengetahuinya." Hinata terlihat lebih tenang, tetapi Naruto tidak ingin terus membahas perempuan itu. Sebaiknya mereka melakukan meditasi dengan tenang sebab Hinata butuh itu untuk melatih pernapasannya saat persalinan nanti.
"Aku betulan tidak tahu, aku tidak mengurus projek itu. Biarkan projek itu menjadi bagian dari pekerjaan Shikamaru," Naruto mencari aman, karena memang dirinya tidak mengetahui lebih jauh.
Hinata mendengkus, terlihat tidak puas.
"Kau tidak boleh seperti itu, Naruto. Dia adalah kolega bisnismu, jika dia berhasil, perusahaanmu juga mendapatkan keuntungan besar." Hinata menarik tangan suaminya dan mengelusnya pelan, Naruto menahan senyumnya ketika tangannya di kecup sang istri. Sekarang dirinya benar-benar salah tingkah, sudah tidak fokus.
Naruto berdehem. "Lalu aku harus bagaimana? Terakhir kau bilang aku tidak boleh terlalu dekat dengannya———" Naruto langsung mengatupkan bibirnya begitu Hinata menatapnya tajam.
"Jadi itu semua karena aku?" Hinata melepaskan genggaman tangannya pada Naruto, lelaki berambut pirang itu langsung menggeleng cepat dan menghampiri istrinya untuk duduk di sebelahnya, mulai memegang perut membuncit Hinata.
"Bukan begitu. Maksudku.. aku tidak tertarik, ya, tidak tertarik, masih banyak yang harus aku tangani, yang lebih utama dari sekadar menangani projek Shion." Naruto mengusap pelan perut istrinya, Hinata masih terlihat ragu untuk percaya sepenuhnya, wanita itu memang sensitif setiap kali dihubungkan dengan masalalu suaminya, tetapi, tetap saja Hinata tidak boleh terlalu egois memikirkan perasaanya saja.
Sejak kapan sebuah perasaan menjadi lebih dominan menggerakkan tindakannya? Hinata mengakui semua perubahannya menjadi lebih lembut karena kehamilan ini.
"Aku sungguh tidak apa-apa jika kau peduli dengan projek itu. Maksudku, aku tidak ingin kau membatasinya.. kau harus ikut andil dalam penilaiannya." Hinata menghela napas kesekian kali, kini ia sudah merasa lelah karena kegiatan yoganya. "Minggu depan kita pergi ke Akita, Minggu ini biarkan projek Shion di terima." Penuturan Hinata membuat Naruto sedikit terkejut, mata biru lelaki itu menelisik mata kucubung istrinya.
"Sayang.... tidak bisa begitu———"
"Biarkan Minggu ini aku yang memeriksa konsepnya dan aku membantunya mengembangkan———"
"Tidak." Naruto menyahut tidak terima. Hinata menatap balik suaminya yang terlihat tidak setuju, "mengapa kau harus melakukan itu? Tidak perlu. Biarkan saja dia———"
KAMU SEDANG MEMBACA
SUPERNOVA [END]
RomantikMenurut Naruto, Hinata tidak lebih dari wanita menyebalkan yang selalu merepotkan perihal estetika. Menurut Hinata, Naruto tidak lebih dari lelaki work holic yang kinerja hidupnya mirip seperti robot. Pertentangan ke duanya seperti ledakan di angkas...