31 | Reversed

2.1K 303 50
                                    

31 | Reversed

"BRENGSEK! Brengsek! Brengsek!" Naruto berteriak kencang dalam mobil yang bergerak dengan kecepatan di atas rata-rata, wajahnya begitu memerah seakan aliran darah berkumpul di wajahnya dan akan meledakkan kepalanya. Air matanya jatuh di pipi, ia lebih dari terluka mengingat pelukan erat yang di berikan Hinata pada lelaki itu. Naruto pikir ia akan sangat tenang atau akan mencoba membiarkan si rambut perak itu mengambil tindakannya tanpa ia gentar sedikitpun! Tetapi, salah, Naruto malah begitu terluka hanya dengan melihat sekilas!

Bahkan ruangan galeri itu memuat foto istrinya! Toneri begitu memuja istrinya seperti dewi aprhodite! Semua figur istrinya tercetak di sana, di puja serupa salah satu dewa pembawa kejayaan! Apa-apaan bocah gila itu? Mengapa Toneri bisa segila itu?! Mengapa Toneri bisa selancang itu padanya?! Prasetan dengan segalanya! Naruto ingin mengamuk, ia ingin menjadi begitu otoriter membatasi semua tindakan Hinata! Apa keduanya sering bertemu selama ini? Apa Hinata benar-benar merencakan perpisahan dengannya?!

"Bajingan!!!" Naruto memukul stir berkali-kali, hampir menjedotkan kepalanya sendiri. Ia kemudian mengerem mendadak ketika menemukan seorang anak kecil hendak menyebrang dengan Ibunya, Naruto sadar untuk cepat-cepat memegang kendali dan menghentikan laju mobilnya hingga menimbulkan bunyi berdecit. Anak kecil itu terlihat ketakutan, sang Ibu memegang dadanya dan Naruto segera menunduk meminta maaf. Anak dan Ibu itu berlari terbirit-birit karena panik.

Naruto mengusap wajahnya kasar, lalu mendaratkan kepalanya di stir mobilnya. Ia merasa sangat kacau seketika dan tubuhnya benar-benar terasa lemas. Setelah ini, apa ia sanggup melihat Hinata? Apa pernikahan mereka akan baik-baik saja? Mengapa semuanya jadi menakutkan? Apa Naruto akan menjadikan sosok Hinata sebentuk trauma di kepalanya kelak?

"Kau traumatik! Kau mencintai bidak buatanmu sendiri!" Suara Toneri mengalun memasuki telinganya, Naruto meloloskan air matanya lagi di pipi. Sungguh, dari sekian kalimat makian, ia benci disebut sosok yang traumatik. Naruto benci di nilai begitu lemah. Naruto sudah susah payah bangkit dari perundungan yang menimpanya ketika masih kecil, Naruto juga berusaha membangun diri kembali ketika di lukai kepergian Shion, lalu Naruto berusaha melindungi bintang masifnya yang tidak lain adalah Hinata. Mengapa dari semua itu, Naruto yang harus merasakan sakitnya? Naruto lelah punya benteng diri yang seolah kuat, padahal ia hanya begitu takut terluka.

Bertemu Hinata, ia seakan siap terluka jika di tolak kalau-kalau wanita itu tak membalas cintanya. Tapi sungguh, rasa sakitnya sulit diabaikan. Naruto tertolak cintanya lagi, ketika ia sudah berani jatuh cinta lagi.

***

Di cintai memang terasa menyenangkan, tetapi itu bukan sebuah pilihan yang membuat hati Hinata terasa penuh. Sudah begitu jauh Hinata tidak berurusan dengan kisah romantis bahkan mungkin tidak pernah benar-benar tenggelam dengan kisah semacam itu. Seperti memang bukan bidangnya untuk mengobservasi lebih jauh. Hinata melerai pelukan dari Toneri lebih awal ketika ia merasa terlalu di buai angan yang indah jika ia dapat di cintai lebih layak dari lelaki yang ia harapkan menyambut cintanya.

Hinata tidak perlu di cintai, jika ada yang sanggup mencintai dirinya itu adalah dirinya sendiri. Hinata tidak begitu kesepian sehingga ia harus menerima cinta lelaki di hadapannya, yang pada kenyataanya, sudah sangat mendambanya dalam imajinasi yang mungkin tidak pernah Hinata pikirkan sudah sejauh mana.

Hinata tidak mencintai Toneri dan lelaki itu, harus tahu bahwa ia sudah mengisi hatinya dengan sosok lain. Toneri tidak harus ia berikan angan palsu sehingga imajinasi lelaki itu kian melambung tinggi tentang dirinya.

"Toneri.. terima kasih tapi maaf." Hinata memegang kedua tangan lelaki itu ketika ia sudah melerai pelukan mereka. Tatapan Toneri bergetar dan lelaki itu menggeleng ketika Hinata hendak mengatakan sesuatu lagi.

SUPERNOVA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang