24 | No hating, but a sign

1.8K 285 72
                                    

24 | Not hating, but a sign





HINATA menjadi begitu sensitif melihat anak kecil ataupun balita di dalam gendongan seorang Ibu semenjak family-party kemarin malam selesai. Wanita itu jadi memikirkan hal-hal menyebalkan yang mampir begitu saja di dalam kepalanya, ekspetasi Kushina pada pernikahannya begitu besar sehingga hal itu menjadi beban yang harus Hinata pikul. Apa yang mertua dan orangtuanya harapkan adalah nyawa di dalam perut, rengekan bayi dan bagaimana ia dan Naruto berhasil menjadi Ayah dan Ibu.

Oke, sudah lewat tiga puluh menit Hinata terjebak pikiran semu itu, menganggu konsentrasinya. Sudah cukup lama juga matanya berlabuh pada bayi mungil dalam stroller yang terus menatapnya dengan mata bulat yang lucu dan lugu di sebrang mejanya. Hinata memilin gemas bibirnya, melihat bayi itu tersenyum ke arahnya.

Baiklah, Hinata rasa kegiatan saling tatap-menatap dengan bayi adalah pilihan buruk.

Jadwalnya kosong hari ini sehingga waktunya cukup senggang hanya untuk memikirkan hal-hal tidak penting, padahal Naruto sendiri terlihat cuek dan tenang. Kopi lattenya pun menjadi sedikit terabaikan, padahal sudah di pesan sejak ia bertandang ke kafe di sebrang kantor hanya untuk menghilangkan rasa jemu di ruang kerjanya.

Hinata menghela napas, ia memilih menyesap lattenya. Wanita itu membawa buku skecth, berniat mengisi waktu luangnya untuk menggores pensil di waktu senggang, barangkali menghasilkan ide yang brilian. Tetapi nyatanya tidak demikian, bukunya tampak masih kosong dengan pensil yang belum ia keluarkan dari tempatnya.

"Hinata.. itu kah kau?" Suara lembut dan ringan itu membuat Hinata sedikit mendongak, matanya kemudian membulat karena terkejut.

"Hai, masih ingat aku?"

Shion Yamanaka, sepupu dari Ino sedang berdiri dengan senyum manisnya yang menenangkan. Hinata mengerjapkan matanya kurang percaya, wanita berdarah britania raya itu berdiri di depannya dengan stelan manis dan anggun seperti biasanya, topi baret sepertinya menjadi jati diri Shion karena tak pernah terlepas dari komposisi pakaiannya.

"Shion?"

Shion terkekeh, suaranya lembut. Para pengunjung yang sebagiannya lelaki sampai teralihkan atensinya, wanita bermata ungu tua itu mengangguk tak melepaskan senyum ramahnya yang bersahabat.

"Iya aku Shion. Kau terkejut?"

"Tentu saja!" Hinata terkekeh, wanita itu sigap untuk menarik kursi mempersilahkan Shion duduk di mejanya.

"Hinata tak perlu repot-repot." Shion terkekeh, menunduk sopan dan berterima kasih karena ia disambut cukup hangat oleh Hinata. Wanita itu bahkan masih mengenalnya.

"Kau sendiri?" Hinata kembali duduk di kursinya, wanita itu merapihkan buku skecthnya dan menatap Shion.

Shion mengangguk. "Aku rasa sendiri cukup menyenangkan. Ino masih berada di Amerika, wanita itu sibuk dengan peralihan perusahaan Ayahnya. Jadi, yah, aku terpaksa berjalan-jalan sendiri." Shion menjelaskan.

Hinata mengangguk-angguk paham.

"Kau ada urusan di sini?"

"Ibuku adalah orang Jepang, dia lahir di sini. Jadi, aku mengunjunginya."

Hinata tampak terkejut, ia kira Shion benar-benar wanita aseli Milan. Tanpa darah campuran melekat pada wajah eropanya yang lembut dan manis.

"Kukira kau tidak punya ikatan di Jepang selain menjadi sepupu terdekat Ino." Hinata menjelaskan, Shion terkekeh memaklumi anggapan itu.

"Ibu dan Ayahku sudah berpisah, jadi keduanya memang tinggal di negara berbeda. Ayahku memilih tinggal di Milan dan Ibuku memilih pulang ke Jepang." Penuturan Shion cukup membuat Hinata terkejut, sebab ia memang tak tahu latar belakang keluarga wanita di hadapannya. Info sedikit dari Ino adalah tentang bagaimana Shion begitu berhasil menempuh pendidikannya dengan berbagai predikat yang baik, Hinata mengusap punggung tangan Shion.

SUPERNOVA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang