22 | memorandum
HINATA menarik kursi di meja makan, lalu duduk berhadapan dengan Naruto. Mereka berjarak dengan radius beberapa meter karena meja makan berbentuk oval itu memang begitu besar, mampu memuat lebih banyak orang dan lebih cocok digunakan untuk keluarga besar bukan dua manusia dingin yang bahkan jarang makan. Furniture jadi terasa sia-sia diatur sedemikian rupa, hanya mengisi estetika ruangan saja.
Naruto sudah duduk di kursinya terlebih dahulu, dengan kedua tangan menopang dagu dan memerhatikan bagaimana Hinata duduk dengan wajah sedikit angkuh di kursinya. Naruto menyunggingkan senyumnya, terhitung sangat santai menyambut Hinata. Ia bahkan sudah memakai baju tidur——kaos polos berwarna putih berlengan pendek, yang bagian lengannya terlipat satu kali sehingga menonjolkan otot bisepnya dan celana piyama, berbahan satin yang lembut.
Hinata menatap makanan yang tersaji, seluruhnya adalah masakan rumah yang begitu janggal tersaji begitu saja tanpa Hinata minta bahkan tanpa Ibu mertuanya yang membawa. Well, cukup membuat Hinata senang karena tak harus memakan makanan yang hanya ditaburi garam, merica tanpa tambahan bumbu lain dan mungkin hanya olahan seperti blackpaper———makanan western memang tidak buruk namun Hinata tidak cocok.
Hinata mengambil sumpitnya, mengangkat mangkuknya yang sudah berisi nasi lalu mengambil olahan ikan dan sayuran. Wanita itu melahapnya, tanpa memedulikan Naruto yang menatapnya dari ujung kursi. Hinata tersenyum begitu merasakan makanan di lidahnya tidak begitu buruk, matanya sampai menyipit karena tersenyum.
Sungguh, hari ini begitu melelahkan maka ketika mendapatkan makanan enak Hinata begitu senang. Naruto tersenyum lalu ikut melahap makanan di depannya.
Sementara, keduanya sibuk untuk makan dan tidak ada pembicaraan yang mengintrupsi kegiatan keduanya. Ketika acara makan mereka selesai, pelayan menuangkan wine pilihan yang di simpan diruang bawah tanah yang begitu terjaga kesejukannya.
Setelah wine itu tertuang di gelas bening berkaki satu itu, Naruto memerintahkan dengan gerakan tangan agar keduanya di tinggalkan berdua. Hinata memerhatikan pelayan yang berangsur pergi.
"Well, untuk makan malam perpisahan, kau membuat kesan yang baik." Penuturan Hinata sebagai pembuka setelah mereka tak bicara, Naruto kontan terkekeh pelan mendengar ucapan istrinya.
"Perpisahan?" Naruto mengulang.
Hinata meneguk winenya sebelum menjawab.
"Kau membuat makan malam ini begitu khidmat karena akan membuat semuanya menjadi kegiatan terakhir kan? Pernikahan konyol ini akan selesai malam ini." Tutur Hinata tenang, yang seketika kembali membuat Naruto terbahak di tempat duduknya. Lelaki berambut pirang itu meneguk winenya dan melirik Hinata sebelum menjawab.
"Justru ini permulaan." Tutur Naruto, dengan mata birunya yang menatap intens Hinata dari ujung. Senyum simpul dari Naruto seperti bukan pertanda baik, bibir yang meneguk wine itu sangat menyebalkan.
"Apa maksudmu?" Hinata tampak sentimen.
"Kita perlu membicarakannya lagi, secara matang dan memperhatikan segala aspeknya yang tentu saja saling bersangkutan, perlu lebih lama lagi agar perpisahan ini terlihat menjadi masuk akal, masalahnya tidak hanya diputus dengan gunting saja."
Hinata terkekeh parau di kursinya.
Jelas menolak.
"Kau tak memikirkan aspek saat melanggar janjimu padaku. Apa aku harus tetap memikirkan aspek-aspekmu itu untuk mempertahankan pernikahan ini? Astaga, aku pikir permasalahan ini akan jadi lebih singkat dengan kau tidak berkelit dan menyetujui perceraian." Hinata tak lagi menyentuh wine, menurutnya satu gelas cukup untuk membuatnya tetap waras beradu argumen dengan lelaki di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUPERNOVA [END]
Roman d'amourMenurut Naruto, Hinata tidak lebih dari wanita menyebalkan yang selalu merepotkan perihal estetika. Menurut Hinata, Naruto tidak lebih dari lelaki work holic yang kinerja hidupnya mirip seperti robot. Pertentangan ke duanya seperti ledakan di angkas...