Alzheimer.
Apa yang kalian pikirkan saat pertama kali mendengar kata itu?
Mungkin kebanyakan orang mengira, alzheimer adalah penyakit yang hanya bisa menyerang mereka yang berusia lanjut, namun nyatanya tidak. Tidak banyak memang, tapi ada beberapa kasus penyakit ini menyerang anak muda berusia tiga puluh tahunan. Namun kenyataan yang lebih pahit ternyata masih bisa terjadi.
Adrino, lelaki berusia tiga puluh tahun itu dengan berat hati harus menerima kenyataan pahit jika sang istri mengidap penyakit yang masih belum ada obatnya itu. Ingin marah, namun pada siapa? Pada Tuhan yang sudah memberikan takdir se kejam ini padanya?
Istrinya baru menginjak usia dua puluh delapan tahun bulan September lalu. Usia yang terbilang masih muda. Begitu pula dengan usia pernikahan mereka, baru tiga bulan mereka menikah.
Mengetahui kenyataan ini, Rino seperti tersambar petir di siang hari. Bermaksud membawa istrinya yang sering mengalami sakit kepala ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan, ternyata yang Rino dapatkan lebih rumit dari perkiraannya. Dia pikir Jivan hanya mengalami migrain biasa, awalnya.
Pertanyaan awalnya hanya seperti 'apa kamu menjadi pelupa akhir-akhir ini?', Jivan menjawab apa adanya, dia memang sering melupakan hal-hal sepele, bahkan sekedar nama kucing peliharaan Rino yang sehari-hari hidup bersama mereka, Jivan bisa lupa. Jika diurut ke belakang, Rino juga menyadari jika istrinya sering melupakan janji temu dengannya, sering lupa membawa ponselnya, bahkan suatu hari Jivan pernah lupa meninggalkan kunci rumah di cafe temannya.
Mengenal Jivan selama lima tahun, Rino jatuh cinta terlalu dalam padanya, dia hanya memaklumi kalau memang istrinya seorang yang pelupa. Sementara Jivan, dia terlalu menganggap semua itu hal sepele, lupa itu wajar, katanya. Dan sakit di kepalanya, Jivan pikir itu dampak dari dia yang jarang beraktivitas seperti dulu ㅡkarena dia berhenti bekerja setelah menikah dengan Rinoㅡ, otaknya jadi beristirahat terlalu lama, itu pemikiran konyol, tapi itu lah Jivan, tidak pernah terlalu serius dalam menanggapi apapun.
"Jangan bilang ini sama Jivan."
"Kak Benㅡ"
"Gue gak mau dia sedih."
"Tapi ini menyangkut kesehatannya! Dia harus tahu kondisinya!"
"Leo, lo tega lihat dia nangis?! Gue belum siap."
Rino hanya terdiam. Dua orang di hadapannya ini adalah kakak iparnya. Rino baru saja memberi kabar mengejutkan tentang Jivan kepada mereka.
Kakak mana yang tidak hancur saat kabar buruk menimpa sang adik. Ini lah yang terjadi pada dua pemuda yang kini hanya bisa menghela napas, menahan sesak di dada mereka.
"Kata dokter, apa penyebabnya, No?" Leo ㅡkakak kedua Jivanㅡ bertanya dengan matanya yang memerah. Ketara sekali dia sedang mati-matian menahan tangis.
"Bisa dari faktor genetik."
"Kita gak tahu asal usul keluarga ibunya Jivan gimana, kan? Mungkin, dari genetik ibunya."
Benar. Mereka bertiga memang bukan berasal dari rahim yang sama.
Bercerai dari ibu Ben, ayah mereka lalu menikah dengan ibu Leo. Ditinggal pergi oleh ibu Leo, ayah mereka menikah lagi dengan ibu Jivan. Namun lagi-lagi, entah Tuhan memang sepertinya tidak mengizinkan ayah mereka mempunyai istri yang berumur panjang, ibu Jivan meninggal saat melahirkan anak manis itu. Tapi bagaimanapun, mereka tumbuh besar bersama, saling melindungi satu sama lain, terutama si bungsu yang menjadi satu-satunya lelaki berwajah manis di keluarga mereka. Jivan tidak pernah merasakan kehangatan seorang ibu sedari dia dilahirkan, namun dia memiliki dua orang kakak yang senantiasa menggantikan peran ibu di hidupnya.
"Fuck! Dari miliaran orang di dunia, kenapa harus adik gue yang ngalamin ini?!"
Leo mengacak rambutnya. Tabiatnya memang lebih keras daripada sang kakak sulung yang sedari tadi hanya duduk dengan kepalanya yang tertunduk. Rino tahu, Ben menyembunyikan tangisannya disana.
"Lo belum bilang kan, No? Jivan masih belum tahu apa-apa kan?" Ben mengangkat wajahnya, wajahnya basah, penuh air mata. Dia menangis.
"Gue gak sanggup, gue bohong, gue bilang kalau itu cuma sakit kepala biasa, gue kasih dia obat, dan dia bilang sakitnya hilang, dia percaya gitu aja. Maka dari itu gue panggil kalian, seenggaknya, gue punya teman untuk jelasin yang sebenarnya ke dia."
"Kalau gitu kita jangan kasih tahu dia. Ini cukup jadi rahasia kita." Ucap Ben, itu keputusan finalnya.
"Lo setuju, Leo?" Keduanya menatap Leo yang berdiri menghadap jendela. Mata Leo terfokus menatap orang-orang yang berlalu lalang di bawah sana, terlihat sangat kecil jika dilihat dari gedung delapan belas lantai tempatnya berpijak saat ini.
Leo sebenarnya bimbang. Seumur hidupnya, Leo tidak pernah membohongi Jivan. Dia dan Jivan berjanji, janji konyol saat mereka masih kecil, mereka berjanji tidak ada yang boleh berbohong diantara mereka berdua, dan entah kenapa janji itu masih dia pegang hingga saat ini.
"Kita ambil suara terbanyak, kan? Lo berdua setuju untuk jangan bilang, kalau gue gak setuju pun, suara gue kalah. Jadi mau gak mau, gue setuju."
Ketiga lelaki itu, bekerja sama untuk membuat seakan semuanya baik-baik saja. Mereka akan melakukan apapun yang membuat Jivan bisa menjalani hidupnya dengan normal, mereka akan memastikan hari-hari Jivan selalu dihiasi dengan kebahagiaan, walaupun mereka tahu satu fakta yang tidak bisa mereka elak, Jivan tidak bisa sembuh sepenuhnya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Based on Korean Drama
'Thousand Days Promise'And Stray Kids's Song
'LIMBO by Lee Know'.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIMBO
FanfictionPada akhirnya, Adrino hanya akan menjadi orang yang terlupakan. Stray Kids. Lee Minho. Han Jisung. MinSung. Minho as Adrino Jisung as Jivanka BxB Warning ⚠️ LOCAL NAME. DRAMA. ANGST. MPREG.