Chapter 24

288 49 8
                                    

Perubahan Jivanka sangat drastis. Sepulang dari vila, Jivan lebih sering menghabiskan waktu dengan melamun. Bahkan terkadang, saat orang lain mengajaknya berbicara, Jivan hanya menanggapinya dengan senyuman canggung, seperti tidak memperhatikan ucapan sang lawan bicara.

Dokter Jimmy mengatakan jika beliau pun kaget mengenai penyakit Jivan yang cepat sekali bertambah parah. Beliau bilang jika itu mungkin saja disebabkan karena Jivan mengalami depresi. Jivan tidak menerima keadaannya yang sekarang. Dia tidak ingin menjadi semakin bodoh, dia tidak ingin menjadi orang yang lebih merepotkan, intinya Jivan belum bisa menerima penyakitnya.

Seperti hari-hari biasanya, Jivan akan duduk di ruang tengah sambil menatap kosong televisi yang menyala, Jeyan sedang menyuapi bubur bayi pada Vanka. Tangan Vanka tanpa sengaja mengenai kaki Jivan. Jivan menoleh menatap bayi kecilnya tanpa ekspresi.

"Kak Ji, Vanka mau sapa mama katanya."

Jeyan membawa Vanka ke pangkuannya lalu duduk di samping Jivan.

"Kak Ji mau coba suapi Vanka?"

"Boleh?"

"Boleh dong. Kakak kan mama nya."

Jivan menerima sendok kecil yang sudah diisi bubur bayi oleh Jeyan, kemudian dengan gerakannya yang penuh keraguan, dia menyuapkan bubur itu ke mulut Vanka. Tapi entah kenapa, Vanka tidak membuka mulutnya, dia menolak. Mungkin karena Vanka merasa asing.

"Vanka sayang, ayo buka mulutnya. Aaaa~"

Bukan mengikuti ucapan Jeyan, Vanka justru semakin menolak dan malah memberontak. Pada akhirnya, bayi kecilnya Jivan dan Rino itu menangis. Jeyan segera membawa Vanka ke gendongannya dan berdiri, menenangkan Vanka agar berhenti menangis.

Di sisi lain, Jivan yang melihat itu entah kenapa merasa marah dan kesal. Dengan sengaja, dia melempar sendok berisi bubur bayi yang sebelumnya ingin dia suapkan pada Vanka.

"Kak Ji!"

Jivan semakin mengamuk, semua benda yang berada di sekelilingnya dia lempar. Termasuk mangkuk berisi bubur bayi, dan botol susu milik Vanka.

Rino yang mendengar keributan itu keluar dari ruang kerjanya.

"Astaga!"

Rino melihat situasi disana sangat kacau. Vanka menangis di gendongan Jeyan, Jeyan menatapnya dengan ketakutan, dan Jivan yang tak mau berhenti mengamuk.

"Jivan, sayang, udah ya... udah cukup..."

Rino memeluk Jivan dengan erat. Mengunci pergerakan Jivan agar berhenti. Dan Jivan pun menyerah. Napasnya memburu. Dia tidak menangis, wajahnya menyiratkan kekesalan yang luar biasa.

"Je, minta tolong bi Dedah beresin ini. Gue mau bawa Jivan ke kamar. Gue titip Vanka ya."

"I-iya, kak."

Tubuh Jeyan masih bergetar ketakutan. Sungguh, dia tidak pernah menyangka jika Jivan akan mengamuk seperti itu. Perlahan air matanya luruh, Jivan berubah, seperti bukan kak Ji nya yang ia kenal.

.

.

.

Hari ini Leo dan Felix yang datang. Baik Leo maupun Ben menjadi lebih sering datang. Bahkan Ben seringkali berkunjung sepulang dari kantor, tidak peduli jika dirinya lelah, yang terpenting dia bisa menyempatkan diri melihat Jivan secara langsung.

Kebetulan hari ini bi Dedah izin untuk pulang ke rumahnya, beliau bilang ada acara keluarga, akhirnya Leo dan Rino lah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah.

LIMBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang