Chapter 14

328 56 6
                                    

Benedict tidak peduli orang-orang menatapnya aneh. Dia belum lama sampai di rumah saat Rino menghubunginya dan memberitahunya sebuah kabar buruk. Saat itu juga, dia berlari ke mobilnya, dan mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Ben tidak sadar dia hanya memakai kaus tanpa lengan dan celana pendek hitam, pakaian santainya di rumah. Rambutnya juga berantakan, bahkan dia masih memakai sandal rumah bergambar kepala teddy bear, pasangan dengan milik Shema.

Sampai di depan IGD, Ben menemukan Rino yang sudah menunggunya disana. Sementara Leo ada di dalam, menjaga Jivan.

"Gimana? Jivan gak apa-apa kan? Adik gue baik-baik aja kan, No?"

"Ben, tenang dulu. Jivan baik-baik aja. Dia dapet beberapa jahitan di kepalanya, tapi dokter bilang dia gak perlu dirawat, dia bisa pulang, besok lusa harus balik kesini buat diperiksa lagi."

Ben menghela napasnya, rasanya sungguh lega. Dalam perjalanan menuju rumah sakit hatinya tidak pernah merasa tenang. Dia sangat ketakutan dengan apa yang terjadi pada Jivan.

"Bayi nya, gimana?"

"Kandungannya juga baik-baik aja. Untungnya dia gak jatuh dalam posiai tengkurap."

"Kenapa dia bisa jatuh di kamar mandi?"

Rino menghela napasnya. Ceritanya cukup panjang. Jadi awalnya, Jivan terbangun dari tidurnya karena merasa ingin buang air kecil, kemudian dia pergi ke kamar mandi. Semuanya berjalan lancar, sampai dia mencuci tangannya di wastafel. Jivan selalu melakukan itu dari kecil, kebiasaan rutinnya, setiap habis buang air besar maupun kecil, dia selalu mencuci tangannya menggunakan sabun. Namun saat itu, Jivan lupa cara memakai sabun cuci tangan. Seharusnya dia hanya perlu menekan tutup botolnya dan cairan sabun warna kuning beraroma lemon itu akan keluar, tapi karena dia lupa, Jivan membuka tutup botolnya.

Dia selesai sampai situ, seharusnya. Tapi tiba-tiba dia teringat, apakah dia sudah menekan tombol push pada kloset atau belum. Untuk memastikan, Jivan berbalik. Jivanka tetaplah Jivanka, si ceroboh dan tidak hati-hati. Tangannya menyenggol botol sabun yang ternyata tidak tertutup rapat. Botol itu jatuh ke lantai dan tutupnya terbuka, cairan sabun itu otomatis tumpah. Jivanka berjalan tanpa melihat lantai, kakinya terpeleset karena cairan sabun yang tumpah. Dia terjatuh, dan kepalanya terbentur keramik wastafel.

Awalnya Jivan tidak berteriak, dia hanya meringis 'aw!' seperti biasanya ketika dia merasakan sakit, tapi saat memegang kepala dan melihat ada banyak darah di telapak tangannya, dia kemudian berteriak histeris dan menangis.

Ben mengusap wajahnya kasar setelah mendengar cerita Rino. Semua cerita itu Rino dapat dari Jivan. Dia tadi bercerita sambil menangis sebelum akhirnya tertidur karena kelelahan dan efek obat bius yang diberikan dokter saat menjahit lukanya.

Semua ini berawal dari 'lupa', sepertinya Jivan perlu pengawasan yang lebih ekstra mulai saat ini.

.

.

.

Pukul setengah sepuluh malam mereka baru kembali ke rumah Rino dan Jivan. Ben dan Leo akhirnya memutuskan untuk menginap disana karena sudah malam. Leo mengabari Felix, dan Felix juga bilang akan menginap di rumah sepupunya.

Di rumah itu ada tiga kamar tidur, satu kamar utama yang ditempati Rino dan Jivan, satu kamar yang rencananya akan ditempati anak mereka nanti, dan satu kamar lainnya adalah kamar tamu. Leo tidur di kamar yang nantinya akan dijadikan kamar Little Vanka, dan Ben tidur di kamar tamu.

Ben membaringkan tubuhnya. Dia terlentang sambil menatap langit-langit. Pikirannya berkelana, memikirnya bagaimana Jivan ke depannya nanti. Ini salah satu kecelakaan, dan untungnya Jivan baik-baik saja, lukanya tidak terlalu parah.

LIMBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang