Chapter 4

450 63 9
                                    

Saat kecil dulu, Leo pernah tidak menyukai Jivan. Dia cemburu saat semua orang di rumah menghabiskan seluruh perhatian mereka untuk Jivan. Bahkan Ben pun seperti itu. Ben lebih sering menemani Jivan bermain daripada menemani Leo.

Pernah suatu hari, Jivan terjatuh dari sepeda. Dia mengaduh kesakitan dan tidak lama menangis, tangisnya semakin keras saat melihat darah di lututnya. Ben yang saat itu berumur tujuh tahun segera menghampiri Jivan dan menatapnya penuh kekhawatiran.

"Huweee... sakit kakak..."

"Cup cup cup, tahan ya, ayo kakak gendong, kita pulang terus nanti kakak obati lukanya."

Jivan yang berumur empat tahun malah semakin menangis. Ben kebingungan. Sementara Leo tidak membantu sama sekali, dia malah melengos begitu saja melewati kakak dan adiknya. Kemudian setelah posisinya sedikit jauh, dia menoleh.

"Vanka cengeng! Aku gak mau main sama anak cengeng!"

Mendengar ucapan Leo, justru tangisan Jivan berhenti. Anak itu menghapus air matanya dengan tangannya yang dikepal, sungguh menggemaskan. Ben sempat terheran, kenapa tiba-tiba Jivan berhenti menangis.

"Udah gak sakit?"

Jivan menatapnya dengan wajah sembab dan hidung memerah.

"Ji gak boleh cengeng, nanti kak Leo gak suka sama Ji."

Ben diam-diam tersenyum, Leo sebenarnya sangat menyayangi Jivan, hanya saja caranya memang berbeda.

Jivanka dimanja oleh seluruh anggota keluarga Aryasetya bukan tanpa alasan. Anak itu sedari kecil mempunyai sistem kekebalan tubuh yang lemah. Jivan sangat mudah sakit. Misal, sedikit saja dia kehujanan, dia akan demam, atau bahkan sedikit saja dia terpapar udara dingin, dia akan menggigil kedinginan. Semuanya akan sedih jika Jivan sakit, termasuk Leo, walaupun Leo tidak menunjukkannya secara terang-terangan.

Saat masa sekolah menengah pertama, Jivan pernah mengalami perundungan, tidak parah memang, tidak sampai dia dipukuli atau semacamnya, Jivan sering diolok-olok, karena dia lemah, dan orang bilang Jivan seperti perempuan. Jivan seringkali menangis sepulang sekolah, dan Leo tahu hal itu. Leo tidak diam saja, keesokan harinya, dia membuat anak-anak yang sering mengejek Jivan berlutut di hadapan adiknya. Saat Jivan tahu kalau penyebab hal itu adalah Leo, dia senang sekali. Dan Jivan tahu, Leo punya caranya sendiri untuk menunjukkan rasa sayangnya.

Saat ayah mereka meninggal, Jivan masih berusia enam belas tahun, waktu itu dia baru berulang tahun dua hari sebelumnya. Jivan yang paling terpukul dengan kepergian sang ayah. Ben yang paling tua tentu menjadi yang paling tegar, Leo si anak tengah sebenarnya ingin menangis, tapi tentu saja dia dengan hebat menyembunyikan tangisnya, sementara Jivan, si bungsu itu tak henti-hentinya menangis, bahkan nafsu makannya menurun. Hal itu tentu saja sangat mengkhawatirkan, semuanya takut Jivan jatuh sakit. Saat itu, Leo lah yang selalu ada di sisi Jivan, menghiburnya hingga Jivan bisa kembali bangkit. Sejak itu hubungan Jivan dan Leo menjadi sangat dekat. Dan Leo, tidak lagi menyembunyikan perasaannya seperti dulu, dia lebih terbuka.

Leo melambaikan tangannya, membalas lambaian tangan Jivan yang pergi bersama Rino. Pertemuan mereka di hari itu berakhir.

Entah kenapa, sejak mengetahui penyakit adiknya, Leo rasanya ingin berada di dekat Jivan setiap detik. Dia selalu rindu, terutama jika kilasan-kilasan di masa lalu singgah. Rasanya ingin kembali ke masa-masa itu.

"Kak, jangan nangis."

Bahkan tanpa sadar, air matanya turun.

Leo segera menghapusnya dengan tangan. Felix tahu bagaimana hancurnya perasaan Leo saat Jivan divonis mengidap alzheimer, Felix sering melihat Leo menangis diam-diam.

LIMBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang