Chapter 23

305 53 2
                                    

Panjang, hampir 2k words...

.

.

.

.

.

Jivan terbangun tengah malam. Melihat Rino di sampingnya yang tertidur nyenyak, lalu beralih pada Vanka yang berada di tengah-tengah dirinya dan Rino. Tangannya mengusap pipi gembil bayi itu, saat Vanka mulai terusik Jivan buru-buru menjauhkan tangannya, takut Vanka bangun.

Turun dari tempat tidur, dia berjalan ke dapur. Jika di rumahnya, Rino akan mengunci pintu kamar, karena Jivan tidak diizinkan keluar kamar sendirian tengah malam, tapi sekarang mungkin Rino terlalu lelah hingga di lupa untuk mengunci pintu kamar.

Matanya menatap kosong sebuah pisau. Pisau yang sebelumnya dia gunakan untuk mencoba mengupas apel. Jivan masih ingat apa yang terjadi sebelum dia tidur. Entahlah, dia tidak melupakannya dengan cepat. Kakinya melangkah ke arah kulkas, membukanya dan mengambil satu buah apel yang tersisa disana.

Tangannya mengarahkan pisau itu pada apel yang didapatnya dari kulkas. Jivan mencoba mengupasnya, seperti yang ingin dia lakukan untuk Cecil. Di pikirannya, dia hanya ingin menunjukkan pada orang-orang kalau dirinya tidak se bodoh yang mereka kira.

Namun tetap saja, Jivan tidak ingat bagaimana cara menggunakan pisau dengan benar. Dia menggunakannya asal, yang penting kulit buah apel itu terkupas. Bahkan tanpa dia sadari, jarinya tergores pisau lagi dan lagi hingga mengeluarkan darah segar. Tapi Jivan tidak peduli, dia dilingkupi rasa marah dan kesal, gerakannya semakin tak menentu, tangannya berlumuran darah hingga akhirnya dia melempar apel itu dengan kasar. Pisau yang masih dipegangnya ikut terjatuh ke lantai.

Darah dari tangannya menetes ke lantai, Jivan berjalan kembali ke kamar, dengan tangan yang masih dibiarkan mengeluarkan darah. Kakinya menginjak tetesan darah di lantai, hingga jejak kakinya tercetak dari dapur menuju kamarnya.

Pukul tiga malam, Bastian terbangun. Melihat gelas air mineralnya kosong, dia berjalan ke dapur membawa gelas kosong itu, niatnya ingin mengambil air minum.

Sampai di dapur, dia menyalakan lampur, dan hal yang dilihatnya justru membuat Bastian mematung dan mengurungkan niatnya. Dia kembali ke kamar, membangunkan Jeyan.

"Iyan, Iyan sayang, bangun dong. Iyan please..."

"Apa sih kak?!"

"A-ada hantu."

"Hah?!"

"Ada hantu di dapur, ayo bangun."

Bastian pada dasarnya memang sangat penakut. Melihat jejak darah di lantai, tentu yang dia pikirkan adalah hal-hal berbau mistis. Ditambah lagi, dia terbangun pukul tiga malam, yang Bastian percayai jika pukul tiga malam itu waktunya para arwah bangkit.

"Lihat kan! Itu jejak apa kalau bukan hantu?"

Lain halnya dengan Bastian, Jeyan malah mendekat, menatap keadaan sekeliling dapur, hingga matanya menatap sebuah apel tergeletak di lantai dengan jarak yang sedikit jauh.

"Yan, kamu nemu apa?"

Bastian menghampiri istrinya, Jeyan mematung disana sambil memegang apel yang ditemukannya. Bastian bahkan mengumpat di belakang tubuh Jeyan, dia ketakutan.

"Kak, kakak berpikiran yang sama kaya aku gak?"

"H-hantu? Hantunya makan apel?"

Jeyan kesal, dia pukulkan apel itu ke kepalanya Bastian.

LIMBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang