Chapter 25

289 54 8
                                    

Usia Vanka hampir menginjak dua tahun. Dia sedang aktif belajar jalan. Anak itu tumbuh dengan sangat baik. Sangat lincah dan cantik, seperti Jivanka waktu kecil dulu. Seluruhnya yang ada pada diri Vanka benar-benar menurun dari Jivan. Mereka semua berpikir, mungkin Vanka memang ditakdirkan untuk menjadi pengganti Jivan suatu saat nanti.

Jivan sendiri semakin bersikap acuh pada Vanka. Atau mungkin dia juga sudah melupakan Vanka. Dia tidak pernah menganggap keberadaan Vanka. Jivan menganggap Vanka hanyalah sesosok bayi yang tinggal di rumahnya dan harus diurus, tapi tentunya dia tidak ikut andil dalam mengurus Vanka.

Bukan hanya Vanka, sekarang semua orang menjadi asing bagi Jivan. Tidak lagi memanggil nama, Jivan memanggil mereka dengan sebutan kamu atau dia. Hanya Rino, Leo, dan Ben yang masih bertahan dalam ingatannya.

Jivan juga semakin sering marah, sedikitpun tidak boleh berbuat salah padanya, dia jadi mudah tersinggung. Bahkan terkadang, tanpa sebab yang jelas, dia akan mengamuk dan melempar barang-barang di sekitarnya.

Dan sekarang, karena suatu hal, Vanka harus terpaksa tinggal terpisah dari kedua orang tuanya. Dia dititipkan di rumah Leo dan Felix sampai waktu yang belum ditentukan.

Saat itu, Jivan tertidur dengan Vanka di malam hari. Rino pikir tidak apa jika meninggalkan mereka berdua. Rino pun tidak pergi kemana-mana, dia hanya mengerjakan pekerjaan kantornya dengan laptop di ruang tengah sambil menonton televisi, sedikit hiburan.

Jivan yang tengah tertidur, terbangun karena suara tangis dari Vanka. Vanka terbangun karena popoknya penuh, dan dia merasa tidak nyaman. Merasa tidurnya terganggu, Jivan kesal.

"Diam!" Ucapnya dengan sedikit membentak, tapi sayang, Vanka belum mau berhenti menangis.

"Diam gak?! Berisik! Kamu ganggu tidurku!"

Tangis anak itu semakin keras, mungkin karena dia juga merasa takut oleh bentakan Jivan. Jivan yang sudah kesabarannya sudah habis mencari cara lain untuk menghentikan suara tangis Vanka, namun karena dia tidak menemukan ide apapun, akhirnya dia dengan gegabah menutup mulut Vanka dengan tangannya.

Vanka memberontak, dia tidak bisa melawan, anak kecil itu hampir saja mati karena kehabisan napas jika Rino tidak datang tepat waktu.

"Jivanka!"

Rino tidak diberi waktu untuk sekadar terkejut dengan apa yang dilihatnya. Dia menarik tangan Jivan dan menjauhkan tubuh Jivan dari Vanka. Rino menghampiri Vanka yang terengah-engah meraup udara sebanyak-banyaknya. Rino menangis, membawa Vanka ke dalam gendongannya, memeluk anaknya itu dengan erat. Jika dia telat satu menit saja, sudah dipastikan Rino akan kehilangan Vanka selama-lamanya.

"Apa yang ada di pikiran kamu, Jivan? Ini anak kita! Kamu yang melahirkannya!"

"Jangan bentak aku! Dia berisik! Dia ganggu tidur aku!"

Tidak seperti sebelumnya, Jivan sekarang tidak lagi menangis jika Rino tanpa sengaja membentaknya, malah dia akan melawan Rino.

Malam itu, Rino tidur terpisah dengan Jivan. Dia dan Vanka tidur di kamar tamu. Rino tahu dia tidak seharusnya terlalu keras pada Jivan, tapi perbuatan Jivan kali ini sungguh membuatnya perasaannya berantakan. Dia marah, sedih, kecewa, dan sakit secara bersamaan. Dan Rino memutuskan untuk menjaga jarak dengan Jivan untuk malam itu.

Keesokan harinya, Leo dan Felix datang. Mereka akan menjemput Vanka. Rino dibantu bi Dedah mengemas barang-barang Vanka yang akan dibawa pergi.

Hari itu, Rino kembali menangis. Rasanya sangat berat ketika dia harus berpisah dengan anaknya sendiri. Namun mau bagaimana lagi, ini keputusan terbaik. Rino sudah membicarakan hal ini dengan yang lainnya, termasuk dengan ibunya.

LIMBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang