Chapter 7

392 63 4
                                    

Rino tidak pernah menyangka mereka akan berakhir di rumah sakit. Seharusnya malam ini mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang di pesta pernikahan adik sepupu Rino yang bernama Kavin.

Pukul tujuh malam mereka berangkat dari rumah, Jivan sangat suka, apalagi dia bisa bertemu dengan banyak keponakan Rino yang masih seumuran Cecil. Dia juga semangat sekali menyantap makanan di pesta, banyak aneka kue dan makanan manis yang dia suka. Hingga tiba-tiba, dia berhenti menyantap kue-kue nya, dan berkata, "Kak, aku lelah.", Rino segera mencarikan kursi untuk Jivan duduk. Sebenarnya mereka disediakan kursi VIP khusus anggota keluarga, hanya saja letaknya cukup jauh dari tempat mereka berdiri saat itu, jadilah Rino mencari kursi untuk tamu biasa, hanya untuk Jivan.

Menatap Jivan penuh rasa khawatir, tapi Jivan tetap membalasnya dengan sebuah senyuman. Wajah si manis itu sedikit pucat dengan peluh membasahi dahinya. Berkali-kali Rino bertanya, apa sebaiknya mereka pulang saja, tapi Jivan menolak, dia bilang tidak enak jika pulang di tengah acara, lagipula dia hanya sedikit kelelahan. Namun ucapannya berbeda dengan apa yang terjadi, beberapa menit kemudian, tangan Rino digenggam dengan erat. Wajah Jivan menggambarkan kalau dirinya tengah menahan sakit.

"Kak Ino, pusing."

Dan saat itu juga, keputusan Rino tidak bisa diganggu gugat, dia membawa Jivan, bahkan menggendongnya. Tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang terkejut dengan apa yang terjadi, bahkan beberapa anggota keluarganya pun bertanya, tapi Rino memilih mengabaikan mereka.

Awalnya memang Rino akan membawa Jivan pulang ke rumah, tapi di tengah perjalanan, genggaman tangan Jivan tiba-tiba mengendur, Rino menoleh dan melihat mata Jivan tertutup. Panik, dia segera memutar arah, mengambil jalan menuju rumah sakit terdekat. Bukan rumah sakit tempat dimana Jivan diperiksa waktu itu.

Jivan dilarikan ke IGD, dokter yang memeriksanya mengatakan kalau Jivan mungkin kelelahan. Rino tidak bilang kalau Jivan adalah seorang pengidap alzheimer. Beruntung, Jivan tidak perlu dirawat, dia boleh pulang jika cairan infusnya sudah habis dan keadaannya sudah membaik.

Rino merasa bersalah, beberapa hari terakhir ini Jivan memang banyak berkegiatan, seperti berkunjung ke cafe Iyan, berkunjung ke rumah Ben, hampir setiap hari bepergian dan kurang beristirahat. Rino seakan melupakan fakta kalau Jivan memang mudah jatuh sakit dari kecil.

"Maaf, sayang. Maafin kakak."

"Jangan nangis."

Jivan sudah bangun sejak sepuluh menit yang lalu. Sungguh, dia sudah tidak apa-apa, pusing yang dirasakannya juga sudah hilang, tapi Rino tidak berhenti mengatakan kata maaf sambil menangis. Jivan sudah meminta untuk berhenti dan mengatakan ini bukan salah Rino, Jivan sendiri juga salah, dia tidak mengatakan dari awal kalau dirinya lelah, dia mencoba untuk memaksakan diri terlihat baik-baik saja.

Ponsel Rino bergetar, Jivan sangat takut kalau itu panggilan dari Ben atau Leo. Mulutnya berucap, "Jangan bilang aku di rumah sakit." dengan suara pelan.

"Ini mama."

Menghela napas lega, Jivan hanya tidak ingin Ben dan Leo khawatir padanya. Mereka pasti akan langsung pergi ke rumah sakit saat ini juga jika tahu Jivan jatuh sakit. Jivan juga tidak ingin Rino dimarahi oleh kedua kakaknya itu.

"Jivan baik-baik aja, cuma kelelahan aja kata dokter."

"Sekarang kalian di rumah? Atau di rumah sakit?"

"Rumah sakit, sebentar lagi kami pulang, ma. Dokter bilang Jivan gak perlu dirawat."

"Kasih ke Jivanka, mama mau bicara sama menantu mama."

Rino hanya bisa menurut. Jivan menerimanya dengan senyum di wajahnya.

"Mama, ini Jivan."

"Jivanka, sayang, maaf mama baru telepon sekarang, mama baru sampai rumah. Kamu masih sakit, hm? Apa yang sakit, sayang?"

"Tadi aku pusing, tapi sekarang udah hilang kok pusingnya. Ini sebentar lagi aku sama kak Ino mau pulang. Mama jangan khawatir."

"Mama panik sekali waktu ada yang beritahu mama kalau Rino pulang buru-buru sambil menggendong kamu, ada yang bilang kamu pingsan."

"Enggak, aku gak sampai pingsan kok."

Jivan meringis, menatap Rino, Rino mengangguk. Tidak apa, dia mengizinkan istrinya berbohong, demi mengurangi kekhawatirkan ibunya di rumah.

"Jaga kesehatan kamu, sayang. Banyak istirahat. Beberapa hari ke depan ini, jangan kerja yang berat, diam di rumah aja, oke?"

"Iya, ma."

"Mama sedih kalau kamu sakit, Jivanka. Jangan sakit lagi ya, sayang."

"Iya, mama. Mama juga jaga kesehatan. Jivan sayang mama."

"Mama sayang kamu juga. Ya sudah, sekarang kamu pulang ke rumah, langsung bobo kalau sampai rumah."

"Hm. Siap mama."

"Mama tutup teleponnya ya."

"Gak mau bicara sama kak Ino lagi?"

"Gak usah, mama cuma mau bicara sama kamu, menantu mama paling cantik. Bilang aja sama Rino, jaga istrinya yang benar."

Jivan tertawa tepat setelah sambungan telepon itu terputus.

"Apa kata mama?"

"Kakak suruh jagain aku yang benar, katanya."

"Huh, tanpa mama minta pun, kakak pasti jagain kamu."

Semuanya menyayangi Jivanka, siapa yang tidak jatuh hati pada si manis itu. Dia bisa menjadi sumber kebahagiaan bagi yang lain. Termasuk ibu mertuanya, pertama kali Rino memperkenalkan Jivan ke keluarganya, Jivan mendapat sambutan yang luar biasa ramah. Sifatnya yang sopan, tutur katanya yang begitu lembut, pembawaannya yang ceria, semua orang menyukainya. Sosok Jivanka adalah pasangan yang sempurna untuk anak tunggal dari keluarga Gunabaratha itu.

Rino tahu, mama nya pasti sangat khawatir mendengar kabar Jivan sakit. Rino sudah memberitahu tentang penyakit Jivan pada mama nya. Mama nya hancur, beliau bahkan sempat pingsan karena terlalu terkejut dengan kabar yang dia dapat. Seakan mimpi buruk di siang hari, beliau pikir kedatangan Rino ke rumah untuk menyapanya, bertukar rindu, tapi ternyata untuk menyampaikan kabar buruk. Jivanka, menantu satu-satunya yang sangat dicintainya, mengidap suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Menganggap dunia tidak adil, bahkan orang tua sepertinya masih bisa hidup dengan ingatan yang normal, tapi kenapa justru lelaki muda tak berdosa seperti Jivanka yang harus merasakan itu.

Tidak, beliau tidak meminta Rino untuk meninggalkan Jivan. Rino dengan tegas mengatakan kalau dirinya akan selalu berada di sisi Jivan, bagaimanapun keadaannya. Dan nyonya Gunabaratha sangat bangga dan merasa tersentuh dengan keputusan anaknya, Adrino kecilnya tumbuh menjadi pria dewasa yang setia, cintanya kepada Jivanka begitu besar. Beliau meminta Rino berjanji di hadapannya, berjanji agar tidak mengkhianati ucapannya sendiri, berjanji untuk menjaga Jivan di keadaan senang maupun susah, dan Rino melakukannya tanpa keraguan.

Ini keadaan yang sulit diterima, mungkin pria diluaran sana akan memilih menyerah dan meninggalkan pasangan hidupnya saat mendapat kabar mengejutkan seperti Rino, tapi Rino berbeda, baginya, Jivanka adalah separuh hidupnya. Meninggalkan Jivanka sama saja dengan membiarkan separuh hidupnya hilang. Maka selagi Tuhan masih memberinya waktu, dia akan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk Jivanka.

.

.

.

.

.

To Be Continued

Jangan berharap ada mertua jahanam yang benci menantunya kaya sinetron indosiar, aku udah janji di cerita ini gak ada orang yang jahat :)

LIMBOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang