Chapter 3

29 2 0
                                    

"Aaa" Matanya terpejam dan Riani memegangi kepalanya kuat. Telinganya berdeging dan kepalanya terasa berdenyut-denyut.

"Riani" Raka buru-buru menghampiri dan memegang bahu Riani, memastikannya baik-baik saja.

Riani berusaha membuka matanya dan melihat wajah khawatir Raka yang samar-samar.

"Gue harus minum obat." Batin Riani.

"Lagi pula, Mas Raka udah tahu."

"Mas—"
"Ya?" Raka menjawab cepat.
"Aku harus minum obat."

"Ya, kamu tunggu disini, a-aku ke dalam dulu. Ku belikan sesuatu." Raka membantu Riani untuk duduk, lalu segera berlari ke dalam kafe. Raka tahu, orang dengan penyakit autoimun harus meminum obatnya secara rutin.

Raka kembali membawa makanan dan segelas air mineral.

"Makan dulu ya dikit, ini cuma wafel, tapi setidaknya ada makanan dikit sebelum minum obat. Dari tadi kamu belum makan apa-apa soalnya."

"Makasih banyak, Mas, ngerepotin."

Tangan Riani terlihat gemetar memegang sendok. Perlahan Raka mengambil alih sendok itu dan menyuapkan makanan pada Riani.

"Nggak papa, lagian aku udah tahu kan, nggak perlu kuat-kuatin kalau di depanku."

"Kalau aku diem aja liat kamu kayak gini, itu sedikit melukai harga diriku. Jadi jangan menolak."

Mau tak mau Riani membuka mulutnya. Ia sudah tidak mampu lagi menolak. Dengan sangat telaten Raka menyuapi Riani, menyodorkan obat beserta minum untuk Riani. Dan sabar menunggu sakit kepala Riani mereda.

"Sebenarnya, aku memang sakit sebelum berangkat, Mas, itulah kenapa aku udah siap obat, karena nggak bisa minum obat dari kemarin, jadinya makin kambuh tadi pagi dan sekarang. Maaf aku ngerepotin." Riani memulai percakapan kembali setelah sakit kepalanya sedikit mereda.

"Aku tahu, sedikit banyak aku tahu tentang penyakitmu, Ri. Memang harus minum obat rutin kan. Tapi karena kamu nggak pengen temen-temenmu tahu dan bakalan ketahuan kalau kamu minum obat. Jadi, gejalanya makin parah."

"Apa dokter yang jelasin?"

"Nggak, tapi seseorang yang ku kenal juga divonis autoimun. Sedikit banyak aku tahu."

"Jadi dari kamu pingsan, terus aku liat ruam ditangan dan kuku kamu. Aku udah menduga."

Riani menatap tangannya tanpa ekspresi.

"Kan autoimun nggak bisa dideteksi dari liat aja, setelah pemeriksaan dokter saranin buat tes darah, tapi aku nggak bisa izinin dokter tes darah kamu tanpa izinmu. Jadi diagnosis sementara dari dokter kamu kelelahan. Tapi, kelelahan kan juga faktor itu kambuh. Obat dari dokter tadi juga masih di aku, aku nggak kasihin, karena aku tahu kamu punya obat sendiri."

"Tapi keluarga kamu tahu kan?"

"Tahu kok, Mas, nggak perlu khawatir." Katanya sembari menatap Raka kembali.

"Seperti kata Mas Raka, aku kelelahan dan kambuh, itu aja. Karena udah minum obat, sekarang udah baikan, nanti malam aku bakalan banyakin tidur. Hehe"

Raka tersenyum membalas senyum yang diusahakan Riani.

"Lagi pula aku udah terbiasa, ini udah mending daripada dulu malah, sekarang cuma kambuh kalau aku kelelahan aja."

Angin malam mulai berembus. Raka melepas jaketnya dan memberikannya pada Riani.
"Aku tidak kedinginan, Mas Raka."
"Nggak papa, kamu nggak pakai jaket juga, sementara pakai aja punyaku."

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang