Chapter 33

10 2 0
                                    

Dengan kondisi yang lebih baik. Ana selalu menunggui Ken disampingnya. Ken yang sudah dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat itu masih tak sadarkan diri. Ia mengalami koma karena luka tembak yang dalam serta benturan pada kepala.

Dengan sangat lembut, Ana menggunakan sebuah sapu tangan berwarna pink dan air hangat untuk menyeka tubuh Ken. Seperti kebiasaannya yang selalu ingin terlihat rapi dan cantik. Ana pun ingin melihat Ken selalu bersih dan tampan seperti biasanya.

Berbeda dengan kakaknya dan temannya yang lain, Ken sering kali menggunakan pakaian yang sama. Kendati demikian, ia tetaplah mampu mengimbangi ketiga temannya dalam hal penampilan.

Ana mengeluarkan sebuah jaket dari dalam tasnya. Menyimpannya disalah satu laci di ruangan itu. Ya, jaket yang dikenakan Ken untuk melindungi dirinya dari rasa malu.

"Kak Ken, jaketnya sudah ku cuci bersih, maaf sudah membuat Kak Ken menggunakannya untukku yang kotor." Ucap Ana disamping Ken yang hanya bergeming.

Pintu ruang rawat Ken yang membelakangi Ana itu terbuka tipis. Rian berdiri dibaliknya. Ia menutup kembali pintu itu dan menyandarkan punggungnya pada dinding.

Sebanyak apapun dia mengatakan pada adiknya untuk tidak lagi mengingat kejadian itu. Tidak akan berpengaruh. Trauma bukan hal yang sesepele itu. Ia yang hanya mendengarnya saja merasa terluka, apalagi Ana yang mengalaminya. Ana masih berdiri tegak walaupun ingatannya memakannya saja sudah membuat Rian sangat bersyukur.

Rian menghela napasnya berat, mengingat kembali apa yang terjadi di kantor polisi beberapa hari yang lalu.

Saat Rian hendak mengunjungi bangsal Justin. Ada orang lain yang menemui Justin. Seseorang yang duduk di kursi roda. Ia membiarkan dua orang itu berbincang dan tak sengaja mendengar beberapa pembicaraannya.

"Justin, jawab gue! Lo apa-apaan? Kenapa lo berakhir disini?" Dari balik pintu itu jelas terdengar perempuan itu berbicara sambil menangis.

"Lo ngapain anak orang? Lo lupa kalau gue juga cewek?" Keluhnya.

Perempuan dengan garis wajah campuran. Terlihat seperti Justin versi perempuan.

"Celine, gue gak bisa lihat lo nangis." Justin menggerakkan tangannya mengusap air mata seseorang bernama Celine dihadapannya.

"Apa ini yang lo lakuin selama ini? Lo milih nggak ikut Mama Papa ke Paris buat beginian? Lo kenapa jadi jahat gini? Lo yang gue kenal nggak kayak gini."

"Gue nggak bisa diam aja Lin, gue gak terima lo jadi begini."

"Terus lo ngelakuin hal yang sama ke adik Rian?"

"Ya, biar dia ngerasain apa yang gue rasain—"

"Adiknya nggak tau apa-apa." Sela Celine cepat.

"Lo kenapa belain Rian? Lo masih cinta?"

"Gue nggak belain Rian, gue nggak perduli kalau lo berurusan sama Rian, tapi adiknya—" Celine bahkan tidak bisa melanjutkan perkataannya.

"Dia bahkan lebih muda dari gue, lo kok bisa tega ngelakuin hal sebejat itu, lo apa nggak inget gu—"

"Gue nggak ngelakuin itu!" Nada Justin meninggi. Celine langsung terdiam.

"Gue nggak bakal ngelakuin hal sejauh itu. Itu semua gara-gara lo! Lo tiba-tiba muncul dipikiran gue. Gue kehilangan tekad gue."

Plak.

Tamparan mendarat di pipi Justin yang sudah memar-memar.

"Lo—" Justin berdiri.

"Apa?!"

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang