Chapter 15

17 2 0
                                    

Rian, Ken, dan Devano sedang berkumpul di kamar Rian seperti biasa. Rumah Rian itu bagaikan markas geng mereka. Hanya Raka yang belum terlihat muncul di sana.

"Si Raka lama banget." Ujar Devano
"Sorean dia." Jawab Rian.

"Gila, dia kerja mulu, dia lupa pertemuan rutin kita." Ken menggerutu.
"Ah lo mah, dia punya tanggung jawab kali sekarang, Riani di sana juga butuh dikasih makan."

"Semuanya udah jadi tanggungan Raka sekarang?" Tanya Ken.
"Ya iyalah, mau taruh mana harga diri Raka, kalau biaya hidup Riani masih ditanggung Bang Vico." 

"Tuh dengerin, Ken. Iya kalau lo. Si Raka beda. Harga dirinya lebih tinggi daripada gunung Jayawijaya lo tahu nggak. Riani nggak mau sekalipun, dia bakal ngelakuin sebagaimana kewajibannya."

"Lo kayak orang bener aja, Dev, ngomongin kewajiban. Kewajiban lo noh, udah lulus masih deprok aja nggak ada kerjaan." Ejek Ken balik.

Rian ikut tertawa dengan candaan Ken. Tetapi, tawanya terhenti saat dari balik pintunya yang tak sepenuhnya tertutup itu, ia melihat Ana mengendap-endap pergi. Ia langsung berdiri dan keluar. Ken dan Devano langsung berdiri.

"Dev, Dev" Ken seperti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Devano pun mengangguk paham. Ken dan Devano menyusul Rian.

"Masuk nggak lo!" Teriak Rian sambil mencengkeram tangan Ana kuat.

"Nggak mau, gue mau pergi!"

"Gue tahu lo bakal ketemu si bajingan brengsek itu lagi kan. Lo ini tolol apa goblok sih?! Nggak ngerti-ngerti dibilangin. Masuk!" Rian menyeret Ana tidak peduli walaupun Ana terseok-seok jalan menaiki tangga.

"Ian, jangan kasar, Ian." Ken coba menenangkan Rian.

"Udah gue biarin lo kayak mau lo, sekarang apa buktinya, dia nyakitin lo lagi, manfaatin lo, masih aja lo maafin. Gila lo ya!" Rian mendorong Ana masuk kembali ke kamarnya, hingga Ana tersungkur dilantai sambil menangis.

"Gue tuh sayang sama lo, An, gue Abang lo! Lo kenapa nggak mau dengerin gue sih?! Emangnya nggak ada cowok lain di dunia ini, sampai lo sebucin itu sama bajingan brengsek itu?!"

"Sekali lagi lo masih berhubungan sama dia, abis dia sama gue. Pegang kata-kata gue!" Rian menutup pintu kamar Ana dengan keras dan menguncinya dari luar.

"Bang, buka pintunya, Bang, buka!" Sambil menangis Ana memohon pada Rian untuk membuka pintunya.

"Sialan, berengsek!" Rian menyambar kunci motornya.

"Ian, Ian lo mau kemana?" Henti Devano.

"Berani-beraninya dia masih ngehubungin adek gue, dia nggak tau siapa gue." Rian langsung menuju motornya dan mengendarainya dengan brutal.

"Ian!" Teriak Devano yang tak digubris.

"Lo disini aja Ken, jagain Ana, biar gue yang nyusul Rian." Ujar Devano. Ken hanya bisa mengangguk. Ia pun saat ini sangat khawatir dengan keadaan Ana yang terlihat jelas di wajahnya. Mobil Raka memasuki area rumah Rian. Buru-buru ia keluar melihat Devano cepat-cepat memutar balik motornya.

"Lo mau kemana?"
"Nyusul Rian, lo disini aja sama Ken."
"Kenapa?"
"Biasa, dia marah lagi sama Ana, gara-gara Ana diam-diam mau ketemu Justin. "

Raka yang tidak tahu jelas kronologinya itu hanya bisa diam menuruti kata Devano. Setelah motor Devano melaju kencang di jalanan, ia masuk ke rumah. Ia menoleh kesana kemari mencari Ken. Dan akhirnya menemukannya berdiri di depan pintu kamar Ana. Raka menyusulnya naik.

"Bang Rian, buka pintunya Bang, dengerin gue." Ana masih menangis dan terus memanggil-manggil Rian. Ken sangat ingin membuka pintu itu, tetapi nyalinya tak cukup berani untuk menghadapi kemarahan Rian nantinya, jika Ana berhasil pergi. Tetapi, hatinya terasa tersayat mendengar tangisan Ana.

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang