Chapter 42

11 2 0
                                    

Di rumahnya, Ana sedang berdebat dengan Rian tentang keinginannya untuk pergi ke Jepang.

"Abang nyuruh aku tenang terus sampai kapan? Temen Abang Kak Raka, dan Kak Raka nggak papa, makanya Abang bisa tenang. Temenku Riani, udah sebulan dia koma, Bang. Gimana aku bisa tenang?"

"Ana, terus kamu kesana bisa apa? Kita disini tunggu kabar dari Raka. Jangan gegabah. Emangnya kalau kamu kesana bisa buat Riani bangun?"

"Dulu Abang ngelarang aku pergi karena Kak Ken belum sembuh, kan? Sekarang Kak Ken udah sembuh, kenapa masih nggak boleh? Aku pengen lihat Riani Bang, aku mau tau langsung kondisinya. Aku nggak bisa cuma denger-denger dari Kak Raka. Abang nggak ngerti perasaanku."

"Abang ngerti, tapi gimana kalau kedatangan kamu malah mempersulit keadaan mereka. Mereka itu udah ribet, saat Riani gini, Raka harus ngurusin anaknya. Terus kamu datang, ngurusin kamu juga."

"Aku udah dewasa, Bang, temen-temenku juga. Kita bisa sendiri."

"Raka bukan tipe orang yang kayak gitu, An."

"Kamu nggak kenal Raka. Sedingin-dinginnya dia, dia orang yang memperhatikan segalanya. Disana negeri orang, kalau kalian datang, otomatis kalian tanggung jawab Raka. Itu prinsip dia."

Ponsel Rian berbunyi tanda ada telepon masuk.

"Masuk kamarmu, An, dengerin Abang."

Walaupun kesal Ana tetap menuruti Rian. Ia masuk ke kamarnya dengan menutup pintu kasar. Rian hanya menghela napas berat menghadapi adiknya yang keras kepala.

"Halo, Rak."

***

Raka menggendong putra kecilnya, menimang-nimangnya sayang.

"Ehe, senyum kamu, seneng digendong?"

Raka ikut tersenyum lebar saat putra kecilnya mulai tenang dan mengumbar senyumnya.

"Minum susu dulu ya, udah waktunya kamu minum."

Raka berbalik hendak mengambil botol susu di nakas, tetapi pandangannya teralihkan oleh sesuatu.

"Riani"

Botol susu ditangannya itu hingga terlepas jatuh ke lantai.

Raka buru-buru kembali menidurkan bayi mungil di gendongannya ke dalam box.

"Riani" Raka segera mendekat ke arah Riani.

Manik coklat nan cantik itu akhirnya kembali terlihat setelah sekian lama.

"Riani"

Raka tak bisa menahan air matanya. Ia menangis tepat di samping wajah Riani.

"M-as" Suara Riani terbata.

Air matanya mengalir pelan dari sudut matanya, melihat Raka menangis di sampingnya.

"Ri, akhirnya, akhirnya kamu bangun."

Sembari mengusap pipi Riani lembut. Raka tak bisa mengucap apa pun selain syukur.

"Alhamdulillah, Alhamdulillah. Allah mendengarkan do'a ku." Ucap Raka parau bercampur tangisannya.

"Ma-s, nggak pa-pa?" Dalam kondisinya yang tak stabil, dirinya masih sempat mengkhawatirkan Raka.

"Aku nggak papa, Sayang. Jangan khawatir."

"Kamu jangan maksa bicara dulu, ya."

Rengekkan pelan kembali terdengar dari balik box bayi itu mengalihkan perhatian Riani. 

"M-as, ba-yi siapa?"

Raka ragu mengatakannya di saat kondisi Riani masih baru sadar. Tapi Riani tentu akan menanyakannya.

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang