Chapter 7

17 2 0
                                    

Raka menurunkan tangannya. Ia gagal. Pikirnya. Terasa nyeri yang teramat di hatinya. Tapi, ia tak bisa melakukan apapun untuk itu. Yang ia bisa sekarang hanya mempertahankan senyumannya untuk Riani. Mungkin untuk terakhir kali. Karena seperti yang ia telah putuskan jika dirinya gagal, maka tempatnya bukan lagi disini.

"Ya—" Raka bingung memulai kalimatnya dari mana. Bukan tak terima dengan penolakkan Riani. Sejak dirinya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya. Ia sudah bersiap untuk segala resiko. Bahkan jika itu resiko menerima penolakkan. Hanya saja ia tak cukup ahli untuk merangkai kata-kata.

Sejak dua hari yang lalu, sepulang dari perbincangannya dengan Vico tentang Riani. Walaupun, Vico terlihat ragu, lebih banyak bercerita tentang kekurangan Riani dengan harapan dirinya memikirkan keputusannya kembali ribuan kali. Selama dua hari itu pula, Raka tidak mengubah keputusannya sedikitpun ataupun ragu. Yang membuatnya begitu lama adalah memikirkan cara mengungkapkan perasaannya. Merangkai kata adalah musuh terbesarnya.

"Raka ngomong Raka! Pantes ulangan bahasa Indonesia lo remidi mulu. Lo kayak gini!"

Raka berusaha mendorong dirinya untuk lebih berani.

"Y-ya—"

"Aku—" Riani langsung menyela Raka yang kelihatan kesulitan untuk berkata-kata.

"Aku tidak bisa menjawabnya sekarang Mas, beri aku waktu 1 minggu, 1 minggu saja, aku akan memutuskannya. Kalau Mas Raka tidak keberatan."

Seperti ditampar angin segar. Masa bodoh dengan rangkaian kata. Masa bodoh dengan ulangan bahasa Indonesia. Dengan cepat Raka mengangguk menyanggupi.

"Ya Ri, aku bisa menunggu, aku bisa." Senyum terulas lebar di wajah Raka. Ia merasa masih ada kesempatan untuknya.

"Apa yang Mas Raka akan lakukan jika aku tidak menerimanya?" Riani mengajukan pertanyaan kembali.

"Aku tidak bisa mengatakannya, karena aku tidak ingin menjadikan ini sebagai pertimbanganmu untuk menerima atau menolakku. Aku ingin itu jawaban murni darimu. Tapi aku sudah memutuskan sesuatu jika memang aku telah gagal."
"Apa itu hal yang baik?"
"Hn, jangan khawatir."

"Mas Raka sangat dewasa, sangat berbanding terbalik denganku yang masih kekanak-kanakan." Gumam Riani pelan, ia mengalihkan pandangannya ke arah pantai.

Raka masih bisa mendengarnya dengan jelas. Dan keputusannya adalah tetap berpegang teguh pada pilihannya dan menerima segala konsekuensi yang bahkan belum terlihat.

"Ri" Panggil Raka kembali.
"Bawa ini." Raka menyodorkan kembali kotak beludru putih ke arah Riani.

Riani terlihat bingung menatap kotak yang sudah berpindah ke tangannya dan Raka bergantian.

"Kalau kamu terima, pakai ini ya di hari lamaran kita nanti."
"Kalau tidak, simpan saja, anggap aja hadiah dari teman, jangan dikembalikan, oke."

Riani menjawabnya dengan ulasan senyum. Menggenggam kotak itu erat di tangannya.

"Riani, aku sudah melakukan apa yang harus ku lakukan hari ini, waktunya pulang."

***

Sepulang dari mengantar Riani kembali ke rumahnya, Raka duduk di tepi tempat tidurnya wajahnya seolah menahan rasa sakit. Rasa sakit yang sebenarnya sudah dirasakannya sejak di pantai.

Pintu kamarnya terbuka dan Gani menyembul dari baliknya.
"Gimana? Udah?" Raka hanya mengangguk.

Gani masuk dan mendekat ke arah Raka.
"Jadi apa jawabannya?"
"Belum dijawab."
"Hmmm, biasa itu mah, itu tanda-tanda bakal diterima. Sofia dulu juga gitu, minta waktu lama banget, sebulan, ujung-ujungnya juga iya, itu cuma nguji kesabaran Kakak aja, beneran serius nggak Kakak."

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang