Chapter 44

10 1 0
                                    

Satu bulan berlalu begitu cepat setelah Riani kembali sadar dari komanya. Dua minggu sudah ia habiskan waktunya di rumah. Rutinitasnya sekarang adalah berlatih berjalan dan mengurus Rama. Walaupun untuk urusan mengurus putranya masih didominasi oleh Raka.

"Istirahat sebentar, Ri."

Raka menuntun pelan Riani untuk duduk di kursi meja makan.

Raka berjongkok memeriksa kondisi kaki Riani.

"Capek ya?" Ucapnya sembari mendongak menghadap Riani.

"Udah nggak terlalu, udah mulai terbiasa."

"Habis ini pasti kamu bisa lari-lari lagi." Raka memasang cengiran lebarnya.

"Ya nggak lari-lari juga, Mas. Bisa jalan normal lagi alhamdulillah."

"Bisa-bisa."

"Oh iya, hari ini cukup bentar aja ya, aku mau ada perlu."

Riani mengernyitkan keningnya bingung. Ini adalah hari minggu, kerja Raka libur, apalagi sekarang sudah sore menjelang malam.

"Mau apa?"

"Mau keluar sebentar."

"Kemana?!" Selidik Riani.

"Alisnya jangan bertaut gitu dong, nggak aneh-aneh kok, cemburu ya..."

Riani mendengus sebal.

"Menyelesaikan segala urusan yang berkaitan sama Rama." Jelas Raka sembari menggenggam lembut tangan istrinya mencoba meyakinkan.

"Belum selesai?"

"Kamu jadi sensitif banget ya, kenapa? Apa yang bikin kamu curiga ke aku, Ri? Apa ada yang ngasih tahu kalau aku ada deket sama cewek di kantor, hm?" Alih-alih menjawab pertanyaan Riani, Raka mengalihkan pembicaraan untuk meluruskan benih-benih yang bisa menjadi kesalahpahaman.

Riani hanya menunduk dalam diam.

"Suaminya nanya, dijawab dong." Raka berucap lembut.

"Karena aku cacat."

"Ngomong apa sih? Lagi-lagi itu, harus aku bilang berapa kali. Gimanapun kondisi kamu, aku nggak bakal ninggalin kamu. Nggak boleh minder gitu, ya. Aku jatuh cintanya sama kamu, Riani, bukan karena fisik kamu. Jadi, gimana pun fisik kamu, aku nggak peduli, selama itu tetap kamu, aku tetap cinta."

Senyum mulai terbesit lagi melalui bibir ranum Riani.

"Ayo ke atas, Rama udah nungguin." Raka membuka kedua tangannya.

Riani melingkarkan tangannya di leher Raka, dan Raka mulai menggendongnya ala bridal style. Riani menyandarkan kepalanya di bahu Raka.

"Kalau aku udah bisa jalan lagi, bakal kangen nih di gendong tiap mau ke kamar." Gumam Riani dengan sadar.

"Mau tetep di gendong?"

Riani menaikkan bahunya sebagai isyarat tidak bisa memutuskan.

Tapi, bukan Raka jika tidak mengerti. Setelah menikah, ia sudah cukup belajar cara memahami perempuan.

"Dengan senang hati, tuan putri."

***

Lonceng pintu itu berbunyi, tanda ada seseorang masuk. Raka memasuki kafe yang penuh dengan kenangan di setiap sudutnya.

White Tulip.

Sudut yang selalu diisi vas dengan bunga tulip putih itu kini kosong.

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang