Chapter 20

17 2 0
                                    

Malam hari, Raka meminta Riani membawanya ke Tokyo Tower, tempat favorit Riani. Saat di depan area Tokyo tower, Raka terdiam, antara takjub dan merasa ngeri.

"Tinggi banget, Ri?"
"Kan menara radio, Mas."

Raka menelan ludahnya. Ia hanya tidak suka, bukan takut. Tidak suka bisa berubah jadi suka. Itu terus Raka tekankan dalam hatinya.

"Ayo" Riani mengandeng tangan Raka. Terasa Raka menggenggam tangannya balik dengan erat.

"Mas Raka waktu di pesawat gimana?" Tanya Riani sambil jalan.
"Berdoa terus, demi kamu, Ri."

"Gitu bisa-bisanya Mas Raka bela-belain nemenin aku naik roller coaster."
"Itu juga demi kamu, aku nggak mau kelihatan lemah."
"Gak papa kali, Mas."
"Kalau aku lemah siapa yang lindungin kamu nanti?"
"Hmmm, so sweet-nya, suami aku."

Riani dan Raka mengelilingi lantai pertama. Lalu, kembali naik ke lantai kedua.
"Ini Ri yang kamu bilang?"
"Iya Mas, bagus kan kalo dilihat langsung?"
"Bagus banget ini." Raka ternganga takjub. Mulutnya terus berwah ria menikmati pemandangan Tokyo di malam hari dari atas ketinggian.

Riani hendak melepas gandengan tangannya. Belum sempurna terlepas, Raka menariknya kembali.
"Kemana?"
"Mas Raka tunggu bentar di sini ya."
"Jangan-"
"Nah, pegang ini. Bentar aja, ya." Riani mengarahkan tangan Raka untuk memegang besi pembatas.

Riani melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Raka. Ia pergi ke tempat penjualan souvernir. Dirinya masih ingat janjinya untuk memberikan gantungan kunci Tokyo Tower pada Raka. Dan sekarang adalah waktu yang tepat.

Riani selesai membelinya. Dan ingin segera kembali ke tempat Raka. Masih dari jarak yang cukup jauh, ia melihat Raka yang terlihat tidak bisa menikmati suasana tanpa dirinya. Mata itu terus melihat sekeliling menunggu Riani kembali terlihat oleh matanya. Memang malam ini terlihat lebih banyak orang yang datang.

Segera ia memangkas jarak dan berjalan lebih cepat ke arah Raka. Saat cukup dekat, seseorang yang terlihat buru-buru dari arah berlawanan menabrak bahu Riani.

"Aa" Karena terlalu keras, membuat Riani terjatuh di lantai.

Seseorang yang menggunakan masker itu segera berjongkok untuk membantu.

"A, sumimasen." Ucapnya sembari menjulurkan tangan.

"Ria" Gumam laki-laki itu. Riani mendengarnya dan sontak menoleh.

"Riani" Raka yang melihatnya itu langsung berlari ke arah Riani dan lebih dulu membantu Riani berdiri.

Laki-laki itu seperti dibuat berhenti gerakkannya saat Raka mendekat. Sejenak ia terdiam, lalu buru-buru berdiri dan pergi begitu saja.

"Kamu nggak papa, Ri?" Raka memegang bahu Riani dengan wajahnya terlihat khawatir.

Fokus Riani bukan pada Raka tapi pada laki-laki yang baru saja menabraknya dan pergi.

"Sayang, aku nanya kamu, kamu lihat kemana?" Raka meminta Riani melihatnya.

"M-maaf, Mas, sepertinya aku kenal orang yang tadi."
"Siapa?"
"Orang yang nolongin aku waktu dulu, yang aku diganggu orang malam-malam."
"Oh ya? Kamu yakin?"
"Dia panggil namaku, dan aku tadi sempet lihat matanya."
"Kalau gitu, aku harus temuin dia buat bilang makasih waktu itu. Kamu nggak papa kan? Tunggu sini dulu."

Raka berjalan cepat, ia bisa melihat topi yang dikenakan orang tadi. Matanya sempat bertatapan, saat orang itu berbalik di dalam lift. Raka tidak sempat ikut dalam lift yang sama.

Saat sampai di pelataran, ia kehilangan orang itu. Padahal jelas-jelas ia masih melihatnya saat orang itu berjalan menuju pintu keluar.

Dibalik dinding di kaki menara. Laki-laki itu bersembunyi. Dengan jaket yang sudah dilepas, begitupun dengan topi dan maskernya. Kafi. Ia melirik Raka yang terlihat jelas sedang mencarinya. Beberapa detik kemudian, Riani datang menghampirinya.

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang