Chapter 17

18 2 0
                                    

Brankar yang membawa Raka digelendeng masuk menuju ruang operasi. Marissa, Aji, Gani, dan Sofia berlarian bersama para petugas medis. Tidak ada yang bisa menahan air matanya. Saat Raka dinyatakan kritis dengan luka dikepala dan sebagian tubuh bagian atasnya akibat benturan keras yang terjadi pada saat kecelakaan. Pintu ruang operasi ditutup, lampu mulai menyala merah tanda operasi sedang berlangsung.

Marissa terduduk lemas dengan tangis yang tiada henti-hentinya. Aji mencoba menenangkan Marissa dalam pelukkannya, walaupun ia tak terlihat tenang sama sekali. Gani berdiri di depan pintu operasi dengan tatapan kalut. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantuinya.

"Mas" Suara Sofia membawanya kembali. Dengan bercampur dengan tangisannya Sofia berusaha membuka suaranya.

"Siapa—" Semakin ia ingin membuka suara, tenggorokannya terasa tercekat.

"Yang akan menghubungi Riani? Aku tidak sanggup, Mas."

Gani memeluk istrinya, tidak ada yang sanggup melakukannya. Ia membayangkan betapa Riani sekarang sedang menunggu Raka menghubunginya seperti setiap malam.

"Kak, udah ya, besok ku lanjut."

"Mau kemana kamu, nanggung banget."

"Waktunya telpon Riani. Dia pasti udah nunggu. Kalau disini jam 7 kan disana udah jam 9."

Raka yang tersenyum lebar dengan mata yang memancarkan kebahagiaan setiap kali tiba saatnya untuk menghabiskan waktu bersama Riani tergambar jelas di ingatan Gani. Gani melirik jam ditangannya. Pukul 8. Berarti pukul 10 malam di Jepang. Tiga hari yang lalu, Raka menyelesaikan pekerjaannya dengan wajah muram karena ia tidak bisa menghubungi Riani di jam biasanya, yang bagi Gani adiknya sangat menggemaskan waktu itu. Menurutnya, Raka yang terlihat lebih leluasa mengekspresikan perasaannya adalah kemajuan yang baik.

Gani melepaskan pelukannya. "Aku yang akan menghubunginya." Ajunya.

Seorang dengan jas dokternya terlihat buru-buru menghampiri Gani dan keluarganya.

"Gani" Panggilnya.

Saat Vico semakin mendekat, apa yang ia lihat sudah memastikan kabar yang ia dengar dari teman dokternya bukanlah bualan semata. Vico tak membuka suaranya lagi. Melangkahkan kakinya saja terasa berat sekarang.

"Vico" Gani menghampiri Vico.

"Dari kami belum ada yang mengabari Riani, aku berencana menghubunginya sekarang."

"Biar aku aja, Gan. Ini pasti sangat sulit untuk kalian." Vico menawarkan.

"Makasih, Vic. Bisakah kamu mengatakan Raka tidak dalam kondisi kritis, Riani pasti tidak tenang."

"Hn, serahkan saja ke aku, Gan, buat urusan Riani." Vico menyunggingkan senyum tipis.

Percakapan keduanya terhenti dengan kedatangan Rian, Devano, dan Ken. Devano terlihat paling frustasi, ia merasa paling bersalah. Harusnya dirinya tidak membiarkan Raka pulang sendiri, harusnya ia memaksa walaupun Raka menolak. Jika saja Raka pulang bersamanya, kecelakaan ini tidak akan menimpa Raka. Ia terus menyalahkan dirinya.

Gani beralih menghampiri ketiga sahabat Raka. Mencoba meyakinkan bahwa Raka akan baik-baik saja.

Vico terlihat gelisah. "Gan, Riani tidak bisa dihubungi."

Ken dan Rian saling berpandangan. Rian yang paling dekat dengan keluarga Riani daripada dua temannya merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan.

"Bang" Rian mendekat dengan wajah gusarnya. Hening. Rian merasa khawatir apa yang ia lakukan ini benar.

"Apa kamu tau sesuatu, Ian?" Vico seolah menyadari apa yang ingin dikatakan Rian adalah hal yang serius.

Sejenak, semuanya seolah teralihkan perhatiannya menunggu penjelasan Rian.

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang