Chapter 36

10 2 0
                                    

Raka mengusap lembut rambut hitam Riani. Menghirup wangi perempuan di dekapannya. Dalam hatinya, Raka sangat bersyukur diberikan kesempatan untuk memeluk Riani-nya lagi. Jalan pikirannya hampir membuatnya salah mengambil keputusan yang mungkin akan disesalinya seumur hidup.

Jauh sebelum ia memutuskan untuk menikahi Riani. Raka berjanji pada dirinya sendiri, untuk tidak akan membuat Riani menangis jika suatu saat Riani menjadi miliknya. Tetapi, kenyataannya ia gagal menepati janjinya sendiri.

Berkali-kali ia menjadi alasan Riani menangis, dan berkali-kali pula ia dimaafkan, membuat rasa bersalah itu menumpuk. Hingga akhirnya, muncullah perasaan tidak pantas diri lagi bersanding dengan perempuan yang ia cintai.

Suara adzan subuh mulai berkumandang. Raka belum sempat tidur sedikit pun sejak tiga hari yang lalu. Tetapi, melihat Riani sudah menghilangkan segala penat yang menumpuk di pundaknya dan sesak dihatinya. Rasa pulang yang sebenarnya, Raka temukan pada diri perempuan mungil yang tidak lain adalah istrinya.

Raka bangun dengan perlahan, berusaha tidak mengusik tidur Riani. Saat dirinya hendak beranjak, jemari kecil itu mencoba untuk menggapai tangannya.

"Kamu kebangun ya gara-gara aku, maaf, tidur lagi ya." Ujar Raka dengan kembali duduk di tepi ranjang.

"Mau ikut sholat." Ucap Riani sembari berusaha menyanggah tubuhnya untuk bangun. 

Raka segera membantunya, "Sama duduk aja ya tapi." Riani mengangguk.

Segera setelah Riani selesai bertayamum, Raka membantu memakaikan mukenah.  Melihat wajah Riani terbingkai cantik dengan balutan kain itu membuatnya tersenyum. 

Setelah sholat keduanya selesai, Raka kembali ke sisi Riani. 

"Aku... minta maaf, Ri." Lirih Raka dengan tertunduk malu.

"Dimaafkan." 

Raka mengangkat kepalanya saat mendengar suara yang sangat lembut menyambut permintaan maafnya dengan tulus.

"Kamu nggak mempertanyakan alasanku pergi, Ri?"

"Beli makan kan?"

Raka tersenyum lebar, binar di matanya itu kembali.

"Sudahlah, Mas. Kita udah sepakat buat mulai semuanya dari awal. Mas Raka loh yang minta, masak yang minta, nyerah duluan." 

"Semua orang berhak buat nggak kelihatan baik-baik aja. Selama Mas Raka pergi, aku berusaha menenangkan pikiran. Sepertinya jarak memang dibutuhkan. Selama itu pula pikiranku mulai terbuka. Keraguan, rasa tidak percaya, marah, semuanya berusaha ku urai satu persatu. Sampai pada keputusan akhirnya, aku benar-benar yakin untuk memulai lagi semuanya dari awal."

"Semua pasti ada alasannya. Aku tunggu sampai Mas Raka siap mengatakannya. Aku akan bertahan sampai aku capek."

Raka merengkuh Riani dalam pelukannya.

"Aku memang bodoh, Ri. Udah menyia-nyiakan kamu. Berusaha menyelesaikan semuanya sendiri. Pengecut yang sebenarnya."

"Nggak akan lagi aku mengulang kesalahan seperti itu, Ri."

Raka melepas pelukannya dan menatap Riani lekat.

"Mau nggak kita duduk berdua, sambil minum teh, kamu dengerin cerita aku? Tapi, janji ya, jangan pergi. Kalau kamu nggak suka sama ceritanya kamu boleh marah, tapi jangan pergi."

Riani mengangguk dengan tulus.

"Aku memang bukan yang pertama mencintaimu, Mas. Mungkin aku juga sangat terlambat. Pada awalnya aku mencoba mencari-cari alasan untuk mencintaimu. Tapi, yang ku temukan hanya tidak ada alasan untuk tidak mencintaimu."

White TulipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang