Part 8. Bicara Telur

2.6K 326 8
                                    





Laki laki itu duduk memutar gelas slokinya pelan, matanya menyorot tajam kumpulan empat laki laki berjas dan satu wanita tengah bercanda ria di sebuah meja bar. Tak peduli dengan yang lain matanya hanya menatap dari lantai atas bagaimana laki laki beralis camar itu tengah menimpali ucapan rekan kerja, sesekali melempar senyum manis pada satu satunya wanita disebelahnya.

Laki laki itu menenggak habis isi gelas, matanya berotasi malas. Sudah menjadi resiko pekerjaan suaminya untuk menggaet investor bahkan harus sampai mengikuti kegiatan pribadi sang kolega. Haechan tau suaminya ini begitu sibuk sampai tiga hari tidak pulang kerumah. Haechan harusnya mengerti sejak memutuskan menginjakkan kaki di rumah itu artinya dia harus menerima kehidupan gila keluarga itu. Sebagai pemenang garis waris, mertuanya ini sangat besar menaruh harapan padanya.

"Bagaimana programmu? Apa ada perkembangan?"

Haechan menikah bukan karena uang. Dirinya benar benar hanya menginginkan hidup bersama laki laki itu. Tapi sekarang? Menyisihkan waktu pulang saja tidak bisa.

"Kalau aku bisa hamil sendiri, sudah kulakukan dari dulu" Haechan mendecih menahan kesal.

"Haechanniee, suamimu tak mau datang kah? Pameran Maae hampir selesai"

"Apa bayiku sedang tidak bahagia? Papi tau anak papi yaa"

Kini laki laki itu memilih bermalam dirumah orang tuanya, toh suaminya juga tak ada dirumah. Orang tuanya cukup mengenal gerak gerik anak itu yang mudah sekali dibaca.

"Kalian bertengkar lagi?" Tidak Maae, Haechan hanya, benar benar merindukan suaminya.


"Mamm? Mammy lihat Haechan?"

"Loh kok tanya mammy, kan kalian satu kamar gimana sih?"

Benar juga, Mark? Kapan terakhir kali kau memperhatikan istrimu? Laki laki itu pulang kerumah tengah malam dan langsung menidurkan dirinya disisian ranjang. Tanpa menyadari ada yang hilang disana.

"Kalian bertengkar?" Suara daddynya yang bergabung di meja makan.

Mark menatap menu sarapan pagi mereka.

"Pagi dad. Ah tidak, kami baik baik saja. Mam? Tidak ada omelete?"

"Bukankah kau tidak suka?" Mark mengrenyit.

"Aku bilang begitu?" Taeyong mengangguk.

"Kau mengatakannya saat Haechan memberimu bekal tempo lalu. Kau bahkan mengatakan omelete kantin dikantor lebih enak. Haechan membuang bekalmu dan pergi"

Mark mengingat kejadian pagi beberapa hari yang lalu, disaat dirinya benar benar diburu waktu karena klien jauhnya mendadak tiba lebih awal dikantor.

"Aku buru buru kau ini dengar tidak?!" Haechan mengejar.

"Sebentar saja, aku hanya butuh memasukkan ke kotak bekal eoh?" Haechan berlari ke dalam rumah, ditengah jalan bertemu dengan maidnya yang sudah sigap mengemas bekal masakannya. Menu telur yang tak pernah absen dari menu makan mereka.

"Aku bisa mendapatkannya dikantor, disana juga enak. Kau makan saja. Aku pergi bear, i love you!" teriak Mark dari dalam mobil yang melenggang pergi saat Haechan baru saja sampai diteras depan.

Haechan menggeram kesal, dirinya sengaja bangun lebih awal untuk menyiapkan bekal suaminya itu. Tapi justru ditolak mentah mentah. Haechan mengumpat marah didepan tempat sampah sembari melempar kotak bekal itu.

"Omelete sialan" Haechan beranjak pergi dengan membawa mobil pribadinya. Taeyong yang menyaksikan itu semua hanya diam menghela nafas.

"Aku merindukan Jenoku"



Lottare Married | NOMINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang