Prolog

18.7K 803 10
                                    

Selamat menulis sebuah karya, yang semoga, akan dikenal banyak manusia.

***

Pukul 02.10 WIB, seorang gadis terbangun dari tidurnya. Melihat jam menunjukkan pukul dua dini hari, gadis itu berniat untuk melaksanakan sholat Tahajud.

Ia bangkit dadi tidurnya, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, dan mulai mengerjakan niatnya.

"Assalamu'alaikum warahmatullah.."

Dia Asya. Nazillasya Az-Zahra. Kerap disapa Asya, atau Zilla. Seorang santriwati di Pondok Pesantren As-Syifa, yang di asuh oleh Bapak Kiai Haji Arifin Al-Hafidz.

Asya, gadis yang sangat suka menulis.
Katanya, "Menulis itu cara Asya untuk mengabadikan banyak peristiwa dalam hidup. Agar suatu saat, jika Asya merasa terlalu lelah, ingin menyerah, terlalu bahagia, terlalu sedih, dll, Asya bisa kembali membaca nya."

"Untuk menyadarkan diri, bahwa dulu, Asya pernah sangat bahagia, lalu setelahnya terluka. Asya juga pernah merasa sangat lemah, namun bisa kembali bangkit."

Setelah sholat, berdzikir, dilanjut dengan doa, Asya bertadarus sebentar. Lalu keluar dari asrama.

"Assalamu'alaikum, Zilla." sapa seorang santriwati, Nia.

"Wa'alaikumussalam, Nia."

"Mau kemana, Zil? Tumben jam segini udah keluar?" tanyanya.

Asya tersenyum. "Mau ke ruang dewan, ambil laptop." Nia hanya menganggukkan kepalanya.

"Yaudah. Aku duluan, ya. Assalamualaikum." pamit Asya.

"Waalaikumussalam."

***

Sampai di depan ruang dewan, Asya mengetuk pintu yang sedikit terbuka dengan mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ada apa, Nazil?" tanya Ustadz Rizal.

"Nazilla, ustadz. Jangan Nazil." ralat Asya, sedikit tidak suka.

Ustadz Rizal terkekeh melihat itu. "Iya, lain kali saya benarkan. Ada apa?"

"Itu, Asya mau mengambil laptop, ustadz." ujar Asya, kembali menundukkan pandangannya.

"Kemari."

Bukan. Bukan ustadz Rizal, atau dewan santri lainnya yang menjawab. Tetapi, seorang lelaki berwajah datar yang sedang menatapnya tajam.

"Gus Afzal," batin Asya.

Iya, Athallah Afzal Al-Hafidz. Putra sulung kiai Arifin Al-Hafidz, yang baru saja pulang dari Yaman beberapa hari lalu. Gus yang terkenal akan kegalakan dan ketegasannya. Jangan lupakan wajah tampan yang selalu terlihat datar.

Tanpa babibu lagi, Asya berjalan ke meja gus Afzal. Sampai di mejanya, gus Afzal langsung memberi laptop milik Asya.

"Syukron, gus."

"Sama-sama."

"Yasudah, kalau begitu Asya pamit. Mau balik ke asrama lagi. Assalamu'alaikum." pamit Asya.

"Wa'alaikumussalam."

"Asya," panggil gus Afzal pelan.

Asya yang tadinya ingin melangkah pun terhenti. Ia berbalik, kembali menghadap gus Afzal. "Iya, gus?"

"Selamat memulai sebuah cerita. Semoga, banyak manusia yang membacanya. Dan menjadi berkah untukmu."

"Dan, saya minta tolong, jangan terlalu dekat dengan ustadz Rizal, ya? Saya, tidak suka dengan kedekatan kalian."

✓✓✓

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Astaghfirullah, Gus Afzal!

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

--pada saat hujan turun dengan deras. pada suhu 22° C, mrtdrfoj.

ASTAGHFIRULLAH, GUS AFZAL! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang