Seperti biasa, pukul 02.15 dini hari Asya terbangun dari tidurnya. Ia mengerutkan alisnya heran, kala mendengar gelak tawa di ruang tengah. Menengok ke kiri, gadis itu sudah tidak menemukan ning Kinar.
Asya beranjak dari tidurnya. Lalu berjalan kearah kamar mandi untuk mencuci muka dan wudhu. Setelah itu, sholat, dzikir, berdoa dan tadarus.
Entah perasaan Asya saja, atau memang benar-benar ada. Asya mendengar suara yang sangat-sangat Ia kenal.
"Masa iya malam-malam begini sampai sih" molognya.
Karna penasaran, Asya langsung keluar dari kamar, menuju ruang tengah. Bibirnya langsung menyunggingkan senyuman manis kala netranya menangkap sosok paruh baya yang sedang tertawa bersama yang lain.
"BUYA AIMM!!"
Dengan cepat Ia berlari lalu memeluk tubuh itu erat.Gus Afzal yang mendengar pekikkan Asya menatapnya datar. "Kecilkan suaramu, Zil."
"Ingat, suara perempuan itu aurat." tegurnya dingin.
Asya tidak menghiraukannya. Ia masih asik memeluk dan menduselkan wajahnya di dada Abuya Aim.
Abuya Aim membalas pelukan Asya. Dengan tersenyum kikuk kepada beberapa orang yang ada di sana.
Kebiaaan Asya sejak kecil ketika bertemu Abuya Aim adalah memeluknya. Dan satu kebiasaan itu, susah untuk dihilangkan.
"Assalamu'alaikum, gadis manja." bisik Abuya.
Beliau, K.H Ibrahim Al-Hafidz. Pendiri Pondok Pesantren As-Syifa' sekaligus guru mengaji Asya sejak kecil. Beliau sudah menganggap Asya sebagai cucunya sendiri.
Asya semakin mengeratkan pelukannya. Air matanya mengalir kala mendengar suara Abuya. Merasakan bahu Asya bergetar, Abuya menjadi heran.
"Zahra kenapa?" tanya Abuya.
Abi Arifin yang mengerti pun memberitahu Abuya lewat mulut tanpa suara. Abuya tersenyum tipis. Lalu berdiri sembari menggendong Asya.
"Atha, ayo ikut Buya."
"Afwan, ustadz. Saya pamit sebentar."
"Nggih, Buya. Monggo,"
Abuya membawa Asya ke kamar beliau. Gus Afzal hanya mengikuti Buya dari belakang. Saat sampai di kamar, Buya mendudukkan Asya di kasurnya. Gadis itu menunduk dengan bahu yang masih bergetar.
"Atha, tolong ambilkan sorban putih di lemari Buya yang atas."
Dengan segera gus Afzal mengambil sorban yang di maksud Buya. Lalu memberikannya kepada Buya.
Abuya memakaikan sorban itu kepada Asya sebagai hijab. Tangis Asya semakin terdengar. Gus Afzal memalingkan wajahnya.
"Zahra dengar Buya?" Asya tidak menjawab. Gadis itu memeluk lututnya. Menenggelamkan wajahnya disana.
"Zahra?" panggil Abuya
"hiks.. mereka jahat," lirih Asya.
"Mereka yang buat kakek sama abang kesakitan, buya,"
"Mereka ada disini... Asya mau pulang, hiks, Asya mau sama Umma,"
Abuya membisikkan sesuatu kepada Asya. Gus Afzal heran, apa yang dibisikkan Buya? Kenapa setelahnya Asya sedikit tenang?
Perlahan Asya mengangkat kepalanya. Buya tersenyum menatap Asya. Lalu menepuk pelan kepala Asya beberapa kali.
"Tidurlah. Abuya disini," titah Abuya dengan senyum tipisnya.
Asya menurut. Ia membaringkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya. Beberapa menit kemudian, setelah dirasa Asya telah tertidur, gus Afzal menatap Abuya, seolah meminta penjelasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTAGHFIRULLAH, GUS AFZAL!
Подростковая литература"Saya hanya gadis biasa yang gemar menulis, gus. Jadi, maaf jika saya hanya bisa mengabadikan sosok gus Afzal dalam sebuah tulisan." *** Nazillasya Az-Zahra. gadis biasa yang sangat suka dengan sastra. gadis dengan banyak rahasia dibalik senyumnya...