12. Khawatir

5.7K 481 11
                                    

Sorenya, saat Asya sedang memasak sayur dan lauk untuk para santriwan-santriwati, sekumpulan santriwan datang ke dapur sembari mengobrol ringan. Obrolan, yang berhasil menarik rasa penasaran Nazillasya.

"Kang, memangnya benar kalau bulan depan gus Afzal akan mengkhitbah seseorang?" tanya salah satu dari mereka, Mas Andika, namanya.

"Waduh, kurang tau juga. Tapi, kata beberapa asatidz, memang benar." sahut yang lainnya, Kang Lian.

"Dengar-dengar dari abdi ndalem, katanya memang rencananya, sekitar sebulan lagi ponpes As-Syifa' bakal mantu gede, kang."
timbal lainnya, Rohman, namanya. Remaja kelas 3 MTs yang sudah lama kenal dengan Asya.

"Wah, MasyaAllah. Jadi penasaran siapa yang berhasil dapetin gus Afzal." sahut Kang Lian.

Andika mengangguk setuju. "Pasti beruntung banget ceweknya, kang. Udah gus Afzal sholeh, perhatian, cuek sama yang bukan mahram, hafidz, anak Kiyai Arifin lagi."

"Sudah-sudah. Ayo ambil makan dulu. Udah laper nih."

"Afwan, kang. Sayur dan lauknya habis, ini baru masak lagi." kata Asya menimpali.

Rohman terduduk lemas mendengar itu. Sedari pagi, dirinya belum makan. Salahnya sih tidur mulu.

"Yah, mbakk, masih lama pasti," sahut Rohman.

Asya menggelengkan kepalanya. Tangannya masih setia memotong wortel yang akan disayurnya nanti.

"Ya masih. Ini aja baru motongin sayurnya." sahutnya, kembali membuat Rohman menghel napas.

"Yaudah gapapa. Ayo, Man balik ke kamar dulu. Nanti kita kedapur lagi kalau sekiranya udah matang." kata Kang Lian.

"Laper banget aku, Kang,"

Melihat itu, Asya tertawa kecil. Ia mencuci tangannya, lalu berbalik menatap sebentar Rohman yang sudah Ia anggap sebagai adiknya.

"Lha kamu dari pagi kemana aja? Mbak ga liat kamu ke dapur buat ambil jatah makan." tanya Asya.

"Tidur, mbak. Oman capek soalnya."

Asya menggelengkan kepalanya. "Tunggu sebentar. Kang, tolong jagain sayur sebentar, ya. Itu kalau minyaknya udah panas, wortel nya tolong masukin semua, terus diaduk bareng sama bumbu. Asya ke kamar sebentar."

Tanpa menunggu jawaban, Asya membalikkan badannya, berjalan menuju kamar dengan sedikit berlari kecil.

"Asy--astaghfirullah, jadi tukang masak mendadak saya," ujar Kang Lian yang dihadiahi gelak tawa oleh kedua temannya.

Setelah sekitar 5 menit, Asya kembali ke dapur. Ia tertawa melihat Kang Lian yang menggantikannya memasak. Bukan apa, masalahnya, mimik wajah kang Lian terlihat sangat tertekan.

"Mbak kemana? Lama banget!" tanya Rohman.

"Mana dateng-dateng ketawa lagi, bukannya salam, kek kunti."

"Astaghfirullah,"

"Ini lauk sama sayur untuk kamu. Dimakan bareng sama Kang Dika, Kang Lian. Kalau nunggu sayur ini, lama."

"Besok kalau jatah ambil makan jangan tidur. Kesehatan kamu juga harus dijaga, Man," ujar Asya.

Rohman tersenyum manis. "Makasih, ya mbak. Cuman mbak yang selalu kayak gini sama Oman,"

"Sama-sama. Udah sana ke kamar terus makan." sahut Asya.

"Siap, mbak."

"Kalau gitu kita duluan ya, mbak. Syukron. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

Tanpa disadari, dari jarak 3 meter dari dapur, ada seseorang yang melihat interaksi Asya dengan tiga santriwan tadi. Beliau tersenyum tipis melihat ketulusan Asya saat memberikan makanan kepada Rohman dan temannya.

Saat ingin kembali ke kamar, langkahnya terhenti kala ada yang memanggilnya.

"Nazill!"

Asya menoleh, Ia menghela napasnya pelan saat mengetahui siapa yang memanggilnya.

"Na'am ustadz?"

"Ini, saya ada beberapa cemilan buat kamu." kata Ustadz Rizal.

Asya sedikit melirik ustadz Rizal yang sedang tersenyum. "Atas dasar apa ustadz?"

"Tidak ada. Hanya ingin memberi saja." sahut ustadz Rizal.

"Ambil, Zil,"

Asya menerima papper bag berisi makanan ringan itu. "Syukron, ustadz,"

"Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamualaikum,"

"Waalaikumussalam,"

Karena acaranya yang ingin ke kamar tertunda, jadilah Ia memutuskan untuk melanjutkan masakannya.

Setelah lama berkutat dengan alat dapur, masakan Asya selesai. Ia menyimpannya di gudang makanan, agar tidak ada santri yang mengambilnya sebelum jam makan tiba. Setelah itu, Ia kembali ke kamar.

***

Pukul 18.55 WIB, setelah mujahadah selesai, entah mengapa, pikiran Asya kembali kepada berita yang Ia dengar hari ini.

Iya, berita tentang Ustadzah Bila yang menyukai Gus Afzal, dan berita gus Afzal yang akan mengkhitbah seseorang bulan depan.

"Astaghfirullah,"

"Kamu ini kenapa sih, Sya? Fokus dong. Jangan mikirin yang ga harus dipikirin!" monolognya.

"Ia memijit pangkal hidungnya. Kepalanya, terasa sakit dan pening. Banyak hal yang mengganggu kepalanya akhir-akhir ini.  Ia ingin kembali ke asrama, tapi, adzab Isya' sudah berkumandang.

Tepat selesai sholat, kepalanya benar-benar terasa pening. Tapi, Asya masih saja menahannya. Hingga lama kelamaan pandangannya buram, lalu gelap. Hanya teriakan orang-orang yang didengarnya, sebelum akhirnya sunyi.

Asya, pingsan.

Dibarisan santriwan, Gus Afzal mengerutkan alisnya heran kala jama'ah putri terdengar benar-benar berisik. Beliau berdiri, lalu mengecek apa yang terjadi dibarisan jama'ah putri.

"Ada apa ini? Saatnya wiridan kok berisik?" tanya Gus Afzal.pada seorang santriwati.

"Afwan, Gus. Ada santriwati yang pingsan," sahutnya.

Gus Afzal pun menghampiri kerumunan itu. Bola matanya membesar kala mengetahui siapa yang pingsan. Dengan panik gus Afzal langsung membopong tubuh mungil itu.

"KANG NASRULL!" panggil beliau sembaru berteriak.

"Nggih, gus?"

"Nyuwun tulung, sanjangne Umi, kalau Asya pingsan. Mau langsung saya bawa ke rumah sakit."

"Nggih, gus, langsung kulo sanjangke Umi."

Setelah itu, gus Afzal langsung pergi menuju mobilnya, sedangkan Kang Nasrul, pergi ke ndalem untuk memberitahu Umi.

Dijalan, gus Afzal tak henti-hentinya beristighfar, memohon ampun kepada Allah, karna telah menggendong perempuan yang bukan mahramnya. Tapi, mau bagaimana? Ini, keadaan genting.

"Astaghfirulllah, Zizil, kenapa suka sekali membuat orang panik?!"

¶¶¶
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Astaghfirullah, Gus Afzal!

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

--dibawah gelapnya malam, 22.38

ASTAGHFIRULLAH, GUS AFZAL! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang