17. Maaf, Asya

6K 536 28
                                    

Sejak kejadian menjelang siang tadi, Asya sama sekali belum terlihat. Entah kemana perginya gadis itu, yang jelas berhasil membangkitkan kecemasan para sahabatnya.

Mawar berdecak kesal karna terlalu khawatir. Kebiasaannya sedari kecil.
"Asya kemana sih?! Pake ngilang-ngilang segala!"

"Udah tau baru pulang dari Rumah Sakit, nanti kalau kenapa-kenapa lagi gimana?!"

"Iya. Kebiasaan banget kalau ada apa-apa ngilang! Bukannya cerita!" sahut Nisa.

Fauzia terkekeh melihat para sahabatnya. Ia cemas, tapi Ia sudah memikirkan tempat, yang 98% Ia yakin Asya berada di sana. Jadi, tidak terlalu panik.

Hingga waktu Ashar tiba, Asya belum juga menampakkan batang hidungnya. Membuat para sahabatnya bertambah panik.

"Zia, a--"

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam, Asya! Kamu kemana aja sih?! Kita panik nyariin kamu!" kesal Nisa bercampur cemas.

Asya terkekeh. "Maaf, ya. Tadi Asya ke kolam ikan belakang ndalem. Kasih makan ikan."

"Nah, kan."

"Hff... Tapi kamu gapapa kan, Sya?" tanya Mawar.

"Memangnya Asya kenapa? Sehat jasmani dan rohani gini kok."

Fauzia yang melihat itu tersenyum tipis. Sahabatnya yang satu ini, tidak berubah ternyata. Masih sama dengan Asya yang dikenalnya 3 tahun lepas.

"Udah-udah. Sekarang persiapan sholat. Ayo ke masjid." ajak Asya dan di angguki oleh ketiga temannya.

***

Di balkon kamarnya, Gus Afzal menatap lurus kedepan. Mengusap wajahnya kasar, lalu beristighfar. Entah apa yang sedang dipikirkan.

"Aghhr!" erangnya

"Astaghfirullah, ya Allah,"

Beliau memijit pangkal hidungnya. Rambutnya sudah terlihat begitu acak-acakkan. "Astaghfirullah,"

"Kamu ini kenapa, Zal?! Apa yang udah kamu lakuin??" gumamnya pelan.

"Zila, maafkan saya,"

Tok tok tok

"Assalamu'alaikum, mas, ini Umi, le,"

Mendengar suara samar Umi, Gus Afzal langsung berjalan kearah pintu untuk membukakan pintu sang Umi. Sebelum itu, Beliau membenarkan tatanan rambutnya, dan mengukir senyum tipis.

"Wa'alaikumussalam, Mi,"

Umi Fatimah tersenyum hangat. Beliau mengusap rambut gus Afzal dengan sayang.
"Mas, Abuya tidak bisa mengimami santri di masjid utama, kamu badali Buya, nggih?"

Gus Afzal menganggukkan kepalanya.
"Nggih, Umi,"

Umi tersenyum, "Mas," panggil Umi.

"Dalem, Mi?"

Umi Fatimah menggelengkan kepalanya. Beliau maju untuk memeluk sang putra pertamanya. Mengusap punggung tegap yang sepertinya sedikit terguncang itu dengan sayang.

"Selesaikan masalahnya, Mas. Selalu libatkan Allah dalam setiap mengambil keputusan. Jangan terlalu percaya dengan apa yang belum jelas kebenarannya." kata Umi lembut.

"Dalam artian, jangan mudah percaya dengan perkataan-perkataan yang keluar dari mulut seseorang yang belum terlalu  Mas kenal,"

"Umi,"

"Umi tau?"

Umi hanya tersenyum. Beliau menepuk beberapa kali punggung gus Afzal pelan.
"Sudah gih ke masjid. Sudah di tunggu."

ASTAGHFIRULLAH, GUS AFZAL! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang