"Harry, apa kau tidak mau mencoba untuk masuk tim Quidditch Ravenclaw?"
Menolehkan kepala, Harry mendapati Hannah yang menatapnya dengan alis terangkat. Wajah cantiknya dipenuhi keingintahuan. Harry tersenyum sembari menggeleng pelan. Tangannya kembali bergerak, menulis di perkamen untuk tugas Herbologi mereka.
"Aku hanya suka terbang, Hanny. Quidditch dengan sahabat-sahabat kita memang aku sukai tapi untuk pertandingan antar asrama, aku tidak tertarik," balasnya ringan dengan bahu terangkat.
Hannah mengangguk paham. Keheningan kembali meraja. Harry dan Hannah saat ini berada di Jantung Hogwarts untuk mengerjakan beberapa esai yang diberikan oleh para profesor. Blaise dan Theo berada di sini beberapa waktu yang lalu sebelum keduanya pergi menemui Susan.
Meletakkan pena bulunya, Harry meregangkan badannya yang pegal. "Nah, selesai." Ia tersenyum. Mata zamrudnya tertuju pada Hannah yang masih menulis. "Kurang banyak, Hanny?"
"Tinggal sedikit." Hannah menjawab singkat. "Oke, selesai." Gadis itu juga meletakkan pena bulunya.
Harry terkekeh. Meraih cangkir teh, ia menyesapnya lembut. Bahu Harry terasa berat ketika Hannah menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata, membuat sang Lord Ravenclaw mengerutkan kening.
"Kau kenapa, Hanny? Sakit?" tanyanya khawatir.
Sebuah gelengan menjawab. Hannah menyamankan posisi. "Mn, tidak. Aku mengantuk."
"Tidurlah kalau begitu."
"Terima kasih, 'Rry."
"Apapun untukmu, Princess."
Harry tersenyum lembut. Sungguh, betapa menyenangkan memiliki beberapa orang yang disayangi. Ia bebas berinteraksi dengan mereka tanpa takut melukai dan melindungi mereka agar tidak terluka.
Harry Potter mungkin terlihat sebagai remaja berusia sebelas tahun yang berprestasi, terkenal di antara profesor atas kesantunannya. Namun, mentalitasnya layaknya seorang prajurit; ditempa berbagai jenis strategi oleh Salazar, dibangun Godric dengan kekuatan tekad, dipenuhi bermacam-macam pemikiran oleh Rowena, dan dialiri Helga dengan untaian kasih sayang.
Harry tersentak. Dahinya mengernyit ketika keheningan nyaman sebelumnya diinterupsi.
"Bunuh."
Meletakkan cangkir ke meja tanpa suara, Harry menegakkan badan. Mata zamrudnya menajam dan ia memasang telinga. Tidak salah lagi, itu suara desisan. Meskipun hanya satu kata, Lord Ravenclaw yakin bahwa kata 'bunuh' terdengar jelas di telinganya.
Sepuluh menit berlalu dan tidak terdengar apapun. Harry mengusap wajahnya gelisah. "Apa itu tadi? Demi Merlin, aku mendengarnya dengan jelas," gumamnya.
Menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, Harry mengangkat kepala Hannah dari pundaknya dengan lembut sebelum ia berdiri. Ia meletakkan bantal sofa berwarna biru sebagai ganti pengganjal leher Hannah yang tertidur dengan wajah damai. Harry tersenyum lembut.
"Tidurlah, Hanny."
Lord Ravenclaw mengeluarkan tongkat dari saku jubah dan mengayunkannya, mentransfigurasi saputangan pribadinya menjadi selimut wol yang lembut. Ini pertengahan November, ditandai dengan udara musim gugur yang berembus dingin. Harry tak mau salah satu saudarinya itu sakit.
Memasukkan tongkat ke dalam saku, Harry berjalan ke arah rak buku di dinding seberang. Tangannya menyapu setiap punggung buku dan matanya fokus mencari.
"Aliana Spark, Cameline Redwood, Adam Johnson. Ah, ini dia, Shaula Black!"
Sebuah buku dengan sampul cokelat berhiaskan gambar kristal merah di bagian tengah ditarik dari rak. Judul Alkimia: Ilmu Yang Terlupakan dalam tinta perak akan menarik minat siapapun kutu buku di dunia ini, terutama jika kau adalah seorang Ravenclaw.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Heir and Heiress of Hogwarts
Fanfiction[Harry Potter Series 1] Ravenclaw!Harry, Bashing!Light, Grey!Harry. Harry Potter menghilang dari dunia sihir. Pada tahun 1991, sang Pahlawan kembali dengan seorang gadis cantik yang tak lain adalah adik kembarnya sendiri, Samarys Potter. Lebih meng...