Tidak ada yang merasa baik-baik saja setelah mengakhiri sebuah hubungan. Begitupun dengan Azizi.
Lima hari telah berlalu. Lima hari yang menurut Azizi ini sangat berat.
Selama lima hari ini kegiatannya hanya melamun sambil memangku gitar kesayangannya. Gitar elektrik yang sudah menemaninya hampir lima tahun lamanya.
Hidup tanpa Marsha ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Bahkan lebih berat dari yang Azizi perkirakan.
Tapi hidup masih terus berlanjut. Azizi tidak bisa berlarut didalam kesedihan nya. Dia harus melanjutkan hidupnya meski tanpa Marsha.
Azizi tidak mau terlihat lemah di hadapan siapapun. Meskipun hatinya sudah hancur tak tersisa.
Azizi kuat kok.
Rasa sakit ini tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit ketika menyaksikan langsung tubuh ayahnya di timbun oleh tanah. Bahkan Azizi juga tidak pernah tau ibu nya siapa. Sekarang, ia harus gagal juga didalam percintaannya. Lengkap sudah penderitaan Azizi sekarang.
Terlalu banyak luka di hati Azizi, sampai tidak ada ruang untuk terluka lagi.
Azizi menghembuskan nafas kasar. Tangannya bergerak mulai memetik gitarnya, matanya terpejam dan dia mulai bernyanyi.
Chika berdiri di ambang pintu, memandangi punggung Azizi. Suara berat khas Azizi masuk ke telinga Chika dengan begitu sopan. Dia menikmati setiap bait lagu yang di nyanyikan Azizi. Bahkan Chika sampai lupa tujuannya datang ke kamar Azizi untuk apa.
Azizi menoleh terkejut ketika mendengar suara tepuk tangan. Dia menatap Chika yang berjalan mendekati nya dengan datar.
"Suara lo bagus."
"Biasa aja, gak usah lebay." jawab Azizi dengan datar.
Chika merengut kesal. "At least, lo berterima kasih sama gue karena gue udah muji lo."
"Gue gak minta di puji." telak Azizi.
"Ya, ya terserah." jawab Chika malas.
"So, mau ngapain lo ke kamar gue?"
"Nyuruh lo makan."
"Gue mau mie."
"Sini, biar gue penggal dulu kepala lo."
"Berani?"
Melihat wajah datar nan dingin milik Azizi, nyali Chika menciut. Tidak, ia tidak seberani itu.
"Lo baru aja sembuh, Zee. Jangan dulu ya? Lagipula jatah makan mie lo bulan ini udah habis. Lo kan udah sepakat, mau makan mie satu bulan sekali."
Azizi hanya bisa berdecak. Semuanya di batasi. Minum kopi di batasi, makan pun dibatasi. Terkadang Azizi juga ingin seperti teman-temannya yang bebas memakan dan meminum apapun. Tidak seperti dirinya yang selalu di atur untuk jangan makan ini dan itu.
"Terus lo masak apa?"
"Sup ayam."
Azizi pun bangkit dari duduknya, meninggalkan Chika begitu saja di dalam kamarnya.
Melihat itu Chika hanya bisa mendengus. Azizi semakin hari semakin menyebalkan.
Chika membereskan gitar milik Azizi ke tempat semula. Kemudian membereskan tempat tidurnya yang tampak berantakan.
Satu hari setelah Azizi bermain futsal, Azizi di serang demam hingga tiga hari lamanya. Baru dua hari ini tubuh lelaki itu kembali pulih dan bisa beraktivitas seperti biasanya.
Selesai dengan kegiatannya, Chika pun turun ke lantai bawah untuk ikut makan bersama dengan suaminya.
Senyum Chika diam-diam mengembang melihat Azizi kembali lahap memakan masakannya. Karena selama sakit, perut lelaki itu tidak bisa masuk nasi, hanya bubur yang bisa masuk ke perutnya sehingga berat badan lelaki itu sedikit menurun. Lihatlah, pipinya semakin tirus saja.
