23

4.3K 525 105
                                    

Gemerlap lampu mulai menyala di sana-sini. Pertanda, malam sudah datang.

Lelaki dengan jaket yang membalut tubuhnya terduduk di kursi yang ada di taman rumah sakit. Tatapannya kosong ke depan, kesunyian turut menyelimuti. Semua orang disini sibuk dengan urusannya masing-masing. Dan ia pun sama sekali tidak peduli dengan itu.

"Anak kamu di vonis buta karena ada tekanan dari selaput di bola matanya."

Perkataan Cici-nya beberapa waktu lalu berputar di kepala Azizi saat ini.

"Anak kita buta, Zee."

Tangisan Chika sewaktu siang tadi masih memenuhi telinga Azizi sampai saat ini. Istrinya terlihat sangat terpukul.

Kelahiran putrinya ternyata tidak hanya membawa kebahagiaan, tapi juga kesedihan yang teramat dalam bagi beberapa orang, terutama bagi kedua orangtuanya.

"Aku gamau punya anak buta, Zee. Aku gamau."

Dunia Azizi serasa hancur mendengar perkataan itu dari Chika, ibu dari putrinya-Zoe.

Semua orangtua pasti ingin buah hatinya terlahir sempurna-tanpa cacat sedikitpun. Tapi jika Tuhan memiliki kehendak lain, kita sebagai manusia bisa apa?

Zoella Airell Matteo.

Putri pertama dari lelaki bermarga Matteo ini. Putri yang akan Azizi sayangi dengan sepenuh hati bagaimanapun keadaannya saat ini.

Azizi duduk menyendiri disini untuk sekedar mendinginkan pikirannya. Di ruangan sana rasanya pengap sekali. Harusnya, kelahiran sang putri di sambut dengan penuh kebahagiaan, bukan malah menjadi seperti ini.

Terhitung, sudah satu jam Azizi terduduk dengan tatapan kosong serta kepala riuh. Dia tidak berniat untuk beranjak sama sekali.

"Teo."

Panggilan yang tak asing memasuki gendang telinga Azizi. Dengan gerakan pelan, Azizi menoleh kearah sumber suara.

"Boleh ikut duduk?"

Azizi mengangguk pelan. Matanya mengikuti gerakan Fiony yang mulai mendudukkan tubuh di sampingnya.

"Gara lagi nenangin Chika di dalem." jelas Fiony.

Azizi tersenyum, miris. "Iya, gapapa. Aku gak bisa nenangin Chika saat ini."

"It's oke." Fiony mengusap bahu Azizi sekilas. "Mau minum?" Kebetulan Fiony membawa sebotol air di tangannya.

"Ngga, makasih."

Fiony menghembuskan napas berat. "Zee."

Panggilan yang asing untuk Azizi.

"Mulai sekarang, bolehkan aku panggil kamu Zee?"

Azizi hanya mengangguk saja.

"Jangan menyalahkan apapun atas semua yang udah terjadi."

Mata Azizi menatap lamat wajah Fiony yang tampak serius. "Aku tau, kamu dan Chika pasti sulit buat nerima kenyataan ini."

"Terlepas dari satu kekurangan dia. Pastinya ada 1000 kelebihan lain yang dia miliki. Zee, dia cantik, cantik sekali. Hidung mancungnya persis kaya kamu, lesung pipi nya, bentuk bibir yang sama kaya Chika. Setidaknya, dia harus sempurna di mata orangtuanya. Kamu.. kamu orangtuanya, Azizi."

Senyum kecil tersungging di bibir Azizi.

"Aku yakin, dia pasti jadi anak yang hebat. Kaya ibu dan ayah nya."

***

Tangisan bayi di tengah malam membuat Azizi sontak membuka matanya. Dia menoleh ke sisi kirinya, dimana Chika tertidur. Wanita itu masih tetap terlelap, seakan tidak terganggu sedikit pun dengan suara tangisan putri mereka.

Azizi; SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang