Chika benar-benar terkejut mendapat pelukan tiba-tiba dari suaminya. Di tambah dengan wajah khawatir lelaki itu. Ada apa? Apa yang terjadi selama ia pergi?
"Kenapa Zee? Ada sesuatu?" Entah keberanian dari mana, Chika menyeka poni yang menghalangi dahi Azizi.
"G-gue khawatir. Hujannya deres banget, gue takut lo kenapa-napa."
Chika tersenyum simpul, entah kenapa hatinya menghangat melihat Azizi mengkhawatirkannya.
"Gue gapapa, ayo masuk." Chika menggenggam tangan Azizi dan mengajaknya masuk ke dalam.
Genggaman tangan Chika terlepas dan gadis itu memilih mendahului langkah Azizi.
"Kenapa lama banget? Macet?" seru Azizi.
Chika membalikkan tubuhnya, membuat langkah Azizi ikut terhenti. Dia menatap Chika sambil mengangkat alisnya menunggu jawaban dari Chika.
"Ngga, tadi mampir dulu ke Cafe." Chika kembali melanjutkan langkahnya, sebelum akhirnya kembali terhenti karena seruan Azizi.
"Kenapa gak ngabarin gue? Lo selalu minta gue buat kabarin lo setiap gue pergi. Tapi, apa yang lo lakuin sekarang?"
Chika mengangkat ponselnya yang mati. "HP gue mati."
"Ada manager lo kan? HP dia juga mati?"
Azizi menghembuskan nafasnya ketika tidak mendengar jawaban dari Chika, ia berjalan ke kamar nya, menutup pintu dengan sedikit bantingan.
Chika hanya mematung di tempat melihat sikap Azizi. Kenapa Azizi bisa semarah itu hanya karena dia tidak memberi kabar? Harusnya Azizi tak harus memperdulikan itu semua. Memang biasanya seperti itu kan?
Azizi duduk di tepi kasurnya. Ia mengusap wajahnya kasar, ia mengerang kesal. Kenapa ia bisa se-khawatir ini kepada Chika? Tapi, bukankah rasa khawatir itu wajar? Ke teman pun kadang kita bisa khawatir sebesar itu.
Meskipun rasa lelah bernaung dipundak, Chika tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia yakin Azizi belum makan malam, itu artinya dia harus memasak terlebih dahulu untuk makan malam mereka. Memang, Chika bisa saja memesannya melalui aplikasi. Tetapi, ada satu hal yang baru Chika tau, bahwa kesehatan Azizi sangat dijaga oleh kedua kakaknya, lelaki itu tidak dibiarkan makan makanan diluar.
Diluar tampaknya hujan masih belum mereda. Sepertinya langit belum puas menumpahkan tangisannya ke bumi.
Entah kenapa, tiba-tiba saja Chika memaku kaki nya menghadap ke jendela yang ada di dapur. Mengamati hujan yang turun dengan deras nya. Dia tersenyum kecut, hujan turun selalu membawa rindu. Iya, dia merindukan seseorang. Semoga rindunya tersampaikan lewat hujan malam ini.
Chika menarik nafasnya dan menghembuskan perlahan, dia kembali melanjutkan aktivitas memasak yang sempat tertunda.
Hampir tiga puluh menit Chika berkutat di dapur. Akhirnya masakan Chika pun siap di sajikan. Chika segera menyajikannya di meja makan. Dia menoleh ke lantai atas, tidak ada tanda-tanda Azizi akan keluar kamar. Apa lelaki itu masih marah kepadanya?
Dengan berat hati, Chika pun berjalan menuju kamar Azizi.
"Zee, ayo makan dulu!" Chika mengetuk kamar Azizi.
Tidak ada jawaban.
"Zee!" panggil Chika kali ini lebih keras.
Masih tidak ada jawaban. Chika mencoba memutar knop pintu kamar Azizi, dan ternyata tidak dikunci. Chika pun melangkah masuk ke dalam.
Chika menghela nafas melihat Azizi tertidur dengan posisi terlentang. Chika tak tega untuk membangunkan Azizi. Dia membiarkan Azizi tidur dan terpaksa harus makan sendirian.