Chika terduduk menghadap kearah jendela kamar. Gemercik hujan di luar dapat Chika lihat dari kaca jendela kamarnya, angin sedikit berhembus menjatuhkan daun-daun yang sudah rapuh. Lampu-lampu mulai menyala, langit semakin menggelap, tanda malam sudah datang.
Ini sudah hari ketiga dia berada di rumah orangtuanya. Tidak, Azizi tidak membiarkannya begitu saja. Azizi sudah berkali-kali datang, dan membujuknya untuk pulang. Tapi Chika terus menerus menolaknya. Bukan jahat, itu adalah sebuah pelajaran yang harus Azizi terima ketika dia sudah berani mengecewakan nya. Dan inilah Chika yang sesungguhnya. Chika bukan Tuhan yang bisa memaafkan manusia dengan mudah, banyak hal yang perlu Chika pertimbangkan ketika ia harus memaafkan seseorang.Tubuh Azizi menggigil dibawah gelungan selimut tebal, bersamaan dengan jantungnya yang berpacu dengan cepat. Ah shit, dirumahnya tidak ada siapapun. Mbak Yuni bahkan sudah pulang dari dua jam yang lalu.
Azizi mencoba mengistirahatkan hati dan pikirannya, akan tetapi nihil. Untuk menutup matanya saja rasanya berat sekali.
Azizi perlu obat. Tapi sialnya ia lupa dimana terakhir kali ia menyimpan obat dari penyakit sialannya ini.
Dengan bersusah payah Azizi bangkit dari tidurnya, memaksakan langkahnya mencari obat yang ia perlukan. Azizi membuka laci, mencari keberadaan obat itu dengan tergesa. Azizi tak tahan lagi. Rasanya jantungnya seperti akan meledak.
Azizi sudah mencari ke segala penjuru kamar. Namun tidak ketemu juga. Azizi kembali membaringkan tubuhnya dikasur, berharap detak jantungnya akan kembali berdetak normal.
Namun apa daya, obat yang sudah lama tidak Azizi konsumsi itu nyatanya memberi efek yang sangat besar untuk perkembangan penyakitnya ini. Azizi kira, setelah hampir mati dan di rawat berminggu-minggu lamanya, ia tidak perlu mengonsumsi obat itu lagi. Karena beberapa bulan belakangan, ia merasa baik-baik saja dengan jantungnya. Ternyata, apa yang ia pikirkan itu hanyalah pemikiran bodohnya.
***
Gracia memasangkan beberapa alat medis di tubuh sang adik. Helaan napas berat keluar dari bibirnya. Mendengar pengakuan Azizi yang katanya sudah tidak lagi mengonsumsi obatnya membuat Gracia ingin sekali memarahinya. Inilah yang Gracia takutkan ketika Azizi jauh dari jangkauan dia.
"Cii, kalo aku mati-"
"Berani bahas kematian di depan aku?"
Azizi terkekeh geli, ia meraih tangan Gracia lalu mengecupnya. "Aku sayang cici pokoknya."
"Aku ngga." tukas Gracia.
Azizi tertawa lebih keras lagi. "Aku ngerasa udah gak butuh obat itu lagi."
"Karena aku punya Chika. Dia obat aku."
Gracia menghela napas kasar, "Stop bermain-main, Azizi."
"Ah, cici gak asik." Azizi mencebikkan bibirnya.
"Sini ci, aku mau bisikin sesuatu." Azizi menarik-narik lengan Gracia.
Gracia pun mendekatkan telinganya ke bibir Azizi. Tidak, Azizi tidak membisikkan Gracia apapun. Bibir tebal Azizi itu mendarat di pipi Gracia.
"Bukannya dulu cici suka nagih ciuman dari aku setiap malam? Sekarang aku cium cici tanpa cici minta."
Tingkah Azizi berhasil membuat Gracia tersenyum. Jangan tanya bagaimana paniknya Gracia saat Azizi mengabari tentang keadaannya. Gracia panik sekaligus takut.
"Kamu masih belum berhasil bawa Chika pulang?" tanya Gracia, mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada disamping bangsal tempat Azizi berbaring.
Air muka Azizi berubah suram, dia menggeleng lemah. "Chika ternyata semarah itu sama aku. Aku juga sadar kalo aku ini udah keterlaluan."
