Malam minggu telah tiba. Karena malas kemana-mana, akhirnya Chika memutuskan untuk berdiam diri dirumah saja, bersama sang suami yang baru saja pulang bekerja dengan membawa berbagai macam makanan untuk menemani malam minggu mereka.
Chika melirik Azizi yang baru saja selesai mandi. Lelaki tersebut ikut mendudukkan tubuhnya di samping Chika, mereka duduk lesehan di lantai dengan kaki ranjang sebagai sandaran.
"Lo pake sabun gue ya?" tanya Chika sambil mengendus tubuh Azizi.
Lelaki berlesung pipi itu menyengir. "Minta, punya gue abis."
Azizi lantas mengambil salah satu plastik dan mengambil isi nya. Dia membeli natto, makanan yang menurut orang-orang aneh namun lelaki itu menyukai nya.
"Awas aja, kalo makannya berantakan, tidur diluar." ancam Chika.
"Iya, sayang."
Jantung Chika berhenti berdetak seperkian detik mendengar kata sayang dari suaminya itu. Astaga, kenapa tiba-tiba pipinya merasa panas? Apakah ini yang dimaksud dengan salah tingkah?
"Soyang sayang mata lo peang!"
Azizi hanya terkekeh geli melihat respon Chika. Padahal dia tau pipi Chika tadi memerah karena salah tingkah.
"Mau?" Azizi menyodorkan natto ke depan wajah Chika.
"No, lo aja." tolak Chika dengan halus.
"Gue dah tau lo bakal nolak. Jadinya gue beli satu deh."
Chika meraih kentang goreng yang Azizi bawa, lalu memakannya dengan tenang sambil berselancar di sosial media nya.
"Pengen kentang." pinta Azizi,
Chika pun menyuapkan dua potong kentang untuk Azizi.
"Lo betah tinggal di pinggiran kota gini, Chik? Apalagi dengan lingkungan yang padat penduduk ini. Chik, kalo lo gak nyaman lo bisa bilang sama gue."
Chika tersenyum simpul, lalu meraih tangan Azizi, ia letakkan tangan itu di paha nya. "Gue mau ikut sama lo itu artinya gue harus siap dengan segala resikonya. Gue nyaman nyaman aja tinggal disini."
Azizi meneguk saliva nya melihat tatapan lembut nan teduh milik Chika, hatinya bergetar tiba-tiba. Pertanda apa ini?
"Tapi rumah ini jauh banget sama kantor agency lo. Gue bisa sewain lo apartment kalo emang lo mau."
"Terus lo mau siapa yang ngurus, hm? Lo mau kesiangan tiap hari? Terus sarapan lo mau siapa yang bikin? Gue bukannya gak yakin, tapi hidup lo masih berantakan banget."
"Sejak kapan lo jadi peduli gini sama gue?"
Chika melepas genggaman tangannya, dia terkekeh. "Lo suami gue, apakah kepedulian gue sebuah kesalahan?"
"Ngga, hehehe," Azizi menyengir.
Chika mendengus, tangannya kembali meraih kentang goreng yang sempat dia simpan di meja.
"Rumah itu beneran lo jual?" tanya Chika.
Azizi yang sedang asik memakan puding nya pun menoleh sekilas, dia menelan puding itu lalu berkata. "Mustahil gue jual rumah itu, Chik. Semua ini gue lakuin cuma buat menghukum kakak-kakak gue. Rumah itu masih atas nama gue, kita akan kembali ke rumah itu suatu saat."
"Apa yang lo lakuin sampai-sampai gak ada satu orangpun yang nemuin kita? Padahal, tempat tinggal kita gak jauh-jauh banget dari Jakarta. Masih bisa di tempuh pake jalur darat."
"Sebelum gue mutusin sesuatu, gue pasti nya udah mikirin semuanya secara matang. Gue udah nebak kalo cici gue bakal lapor polisi, dan gue tau, dua cici gue itu pasti bakal lapor ke polisi temennya ayah. Gue udah lebih dulu nutup mulut polisi itu sebelum cici gue melapor. Terus, temen-temen gue juga pasti bakal sewa intel buat cari gue. Dan gue juga tau siapa intel yang bakal bantu mereka buat cari gue. Gue udah tutup mulut Agam, intel yang pasti di sewa temen-temen gue buat cari gue."