Nadira bukan seorang wanita karir yang fokus pada pekerjaan. Dia hanya ibu rumah tangga yang mengurus satu orang anak laki-laki dan sedang berusaha menjaganya.
Shaga kehilangan ingatannya sejak usia tujuh tahun. Karena itu, Nadira akan terus menjaga Shaga dari hal-hal yang bisa memicu kembali ingatan yang telah lama hilang.
Ya, tak akan pernah Nadira izinkan Shaga untuk ingat pada kenangan yang tak seharusnya ada di ingatan anaknya.
"Harus hilang! Jangan kembali!"
DRTT!! DRTT!!
Sedikit tersentak dengan dering di ponselnya, Nadira segera menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran jahat yang terkadang menghantuinya.
"Astagfirullah."
Tiga kali Nadira mengusap dada, kemudian wanita itu mengambil ponselnya dan mengangkat telepon dari nomor yang tak di kenal.
"Assalamualaikum."
Sembari mematikan oven, Nadira menjawab. "Wa'alaikumussalam."
Seseorang di telepon mengangkat senyum di bibirnya. "Dengan Nadira?"
Untuk sesaat, Nadira terdiam dan sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya.
Siapa?
Meski merasa ragu, Nadira mendekatkan ponselnya ke daun telinga dan menjawab pertanyaan seseorang di telpon. "Ya, dengan saya sendiri. Ada keperluan apa?"
Wanita tersebut membenarkan kacamatanya, sejenak melirik Shaga yang wajahnya pucat dan terlihat seperti orang sakit. "Baik, Bu. Saya Ari, wali kelas Shaga. Dia sepertinya sakit, wajahnya pucat."
DEG!
Untuk sesaat, Nadira merasakan jantungnya berhenti berdetak.
"Baik, terima kasih informasinya, Bu. Saya tutup teleponnya. Sebentar lagi saya akan menjemput Shaga untuk pulang. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Setelah panggilan terputus, Nadira menghela napas gusar. Segala pikiran buruk memenuhi kepalanya dengan cepat, membuat Nadira semakin merasa risau.
"Semoga ketakutanku tidak terjadi."
Mengesampingkan pekerjaan rumah, Nadira berjalan cepat dan bergerak dengan lihai mengambil kunci mobil.
Dan dengan gerakan yang spontan pula, Nadira asal mengambil sandal serta memanaskan mobilnya.
~BENANG MERAH~
"Bosen, mau pulang," gumam Shaga di sela-sela memejamkan matanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 pagi, dan dia berharap bisa segera pulang ke rumah, berleha-leha hingga tertidur di kamarnya.
Lagi pula, sekolah di awal ajaran baru sangat membosankan baginya. Hanya dia tidur di kelas. Selebihnya berbaur dengan banyak orang.
"Shaga, ibumu menjemput. Ibu lihat sepetinya kau sakit. Pulanglah dan segera sembuh," ucap Bu Ari menghampiri meja Shaga.
Sempat terkejut dengan ucapan Bu Ari, pemuda itu segera berdiri dan membawa tas nya. Semoga harinya baik. Baru saja dia ingin mencari-cari alasan untuk tidak berada di lingkungan sekolah.
"Nah, aku juga mau bilang gitu tadi, Bu," sahut Shaga berjalan pelan dengan langkah gontai, antara memang pusing dan mengantuk.
Melihat Shaga pulang, Savalas memicingkan matanya. Jika dia benar-benar kakak keduanya yang terpisah, maka tidak salah lagi bahwa Shaga tinggal bersama ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENANG MERAH
Teen FictionSetiap tindakan, akan ada akibat yang harus ditanggung. Begitu juga dengan perceraian. Ketika sepasang kekasih yang sudah menikah memutuskan untuk bercerai, maka mereka harus sanggup menanggung akibatnya. Pertikaian yang terjadi antara Devian serta...