Bab 17 : Kemustahilan

17 9 24
                                    

"Tunggu, berhenti di situ."

Dengan wajah serta nada bicara yang datar, Devian mencegat Nadira untuk memasuki kamar inap Savalas.

Tentu hal itu membuat Nadira merasa kesal. Dia ingin makan pun ada saja gangguan. Ia menghela napas. "Apa lagi?"

Sebelum Devian menjawab, pria itu melirik ke arah Shaga.

"Kau masuk dulu sana, jangan coba-coba untuk menguping."

"Oke Om," balas Shaga memasuki kamar inap Savalas dengan santai.

Begitu Shaga sudah menutup pintu rapat-rapat, barulah Nadira mengalihkan pandanganya menatap Devian. "Ada perlu apa?"

"Hhh, bocah ingusan itu benar. Kita masih memiliki masalah yang belum terselesaikan. Aku tahu, hubungan kita memang sudah selesai tapi kau masih terluka karena aku, kan?"

Mendengar pertanyaan Devian, membuatnya terdiam tanpa mau menjawab. Memang kenapa kalau iya? Toh, masalahnya sudah lama sekali, kan?

"Mungkin pertanyaan ini memang sudah sangat terlambat ku ucapkan padamu, tapi apa yang sudah terjadi semenjak aku sibuk mengurusi kerjaan? Kau berubah setelah aku pergi."

Lirikan mata Nadira memandang Devian dengan ragu.

"Apa seperlu itu aku beritahu padamu?" ketus Nadira.

"Ya, harus."

"Cih, aku mengalami banyak tekanan."

Devian menatap datar. "Hanya itu?"

Perempatan amarah muncul di dahinya.

"Hanya? Enteng sekali kau bicara. Kau mana tahu aku selalu dijadikan bahan cemoohan tetangga. Tidak becus jadi istri lah, apa lah. Oke aku akui yang pertama memang benar, aku tidak becus. Beban karena selalu tinggal di rumah. Aku sebenarnya tidak peduli dengan gunjingan mereka tentangku. Tapi mereka menggunjing anak-anak kita."

Tatapannya terlihat sendu. Sejenak menghela napas panjang sebelum Nadira menjelaskannya kembali.

"Kurus seolah tak diberi makan, dituduh bukan anak kandung kita karena kulit mereka sedikit gelap. Padahal itu baru beberapa Minggu setelah mereka lahir. Semua kekurangan yang ada padaku dan anak-anakku, mereka lontarkan bagaikan sebuah candaan. Mereka tertawa. Itu yang kau bilang hanya?"

Oke, Devian mengerti. Tapi tetap saja Nadira salah.

"Sudah ku katakan berulang kali, kan, Nadira. Omongan orang lain tidak perlu kau dengarkan. Untuk apa kau mendengarkan mereka? Kan aku yang melarangmu untuk bekerja. Jadi cuek sedikit susah amat," kesal Devian.

Nadira melirik Devian sekilas, kemudian tatapannya kembali lurus ke depan. "Apa kau tahu, apa saja yang akan dialami para wanita setelah melahirkan seorang anak?"

"Hah? Memang kenapa?" tanya Devian mengernyit tak mengerti.

"Kami akan mengalami fase baby blues. Atau singkatnya syndrome perasaan sedih yang dialami banyak wanita di masa-masa awal setelah melahirkan."

Devian terdiam dan berusaha mencerna apa yang baru saja Nadira katakan padanya.

"Bukannya itu akan terjadi jika ada masalah saja? Kamu kan gak punya masalah, hanya terlalu baperan aja," sanggah Devian tidak mau kalah.

Sudah Nadira duga, pria sepertinya mana paham apa yang dirasakan para wanita.

"Sudah ku duga kau tidak akan mengerti! Kau pikir mudah?!"

Gerakan refleks nya, membuat Nadira mencengkram kerah baju Devian dengan jarak mereka yang cukup dekat.

Devian yang mendapat perlakuan seperti itu hanya terdiam dan membalas dengan tatapan datar.

BENANG MERAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang