02.00
Uap kecil terlihat dari hembusan napas Nadira. Ia membuka jendela kamar lebar-lebar, menatap sinar rembulan yang begitu cantik.
Selain itu, Nadira ditemani dengan secangkir kopi panas serta mie kuah. Suasana tenang dengan jalanan yang sepi. Memang sangat Nadira dambakan.
Di luar, tampak bulan purnama yang bersinar terang. Tak ada bintang yang menemani. Hei, apakah bulan itu tidak merasa kesepian tanpa ada pendamping selama menyinari bumi?
Nadira ingin tahu, seberapa cantik bulan tersebut bila bisa ia genggam. Tangannya terulur ke atas, seakan ingin memberi bulan tersebut kepada jiwa yang gelap.
"Cantik, seperti dirimu."
Mendengar suara Devian di kepalanya saat mereka berdua baru menikah dan menikmati masa pacaran, membuat senyum Nadira luntur begitu saja. Ia tertawa hambar.
"Kau lagi, kau lagi."
Sejujurnya sejak ia bilang ingin kembali pada Sagara, mulai dari situ perasaannya menjadi goyah. Ada rasa rindu yang bergejolak, beriringan dengan rasa sakit yang masih membekas hingga saat ini.
Lama Nadira menatap rembulan tersebut tanpa berkedip. Tatapannya kosong, sama seperti langit yang hanya ditemani bulan yang sekarang sudah mulai redup.
"Aku ingin melihat bulan ini bersamamu."
Ungkapan itu terucap tanpa sengaja dari bibir pucat nya, bersamaan dengan air mata yang mengalir tanpa ia inginkan.
"Aku ingin melihat bulan ini bersamamu."
Ungkapan Nadira yang menyandarkan kepalanya pada bahu Devian, membuat Devian yang sedang memejamkan mata menoleh secara perlahan ke arahnya.
"Bicara apa kau ini? Tentu kita akan selalu melihat bulan ini bersama-sama. Aku, kamu, dan anak kita suatu saat nanti," ucap Devian mengacak rambut panjang Nadira yang terurai.
"Suatu saat nanti?" Kepalanya mendongak, membuat tatapan mereka saling bertemu.
Devian tertawa mendengar pertanyaan Nadira. Senyum yang ia perlihatkan mengandung makna terselubung. "Iyalah, suatu saat nanti. Kan kita baru nikah seminggu yang lalu. Emang mau cepet punya anak? Aku bisa, kok. Kita bikin se_"
PLAK!!!
Gagal romantis. Pukulan Nadira tepat mengarah pada pipi kanannya. Sial, tenaga wanita itu kuat juga rupanya. Devian sempat lupa, bahwa Nadira adalah wanita pemberontak dan lebih tomboi.
"Bercanda astaga. Merah pipiku," gerutu Devian memegang pipinya yang memerah.
"Bercanda versi mu menyeramkan, tahu. Lagi pula, kau pikir segampang membuat adonan kue?" elak Nadira.
Devian menggaruk pipinya yang di pukul Nadira. Sesaat Devian tertawa pelan. "Dasar. Aku tahu, aku tahu. Kita pacaran dulu, baru memiliki anak."
Barulah Nadira berani menatap mata Devian yang sedang cemberut, sesekali menggerutu karena mukanya dipukul.
"Haha, pukulan ku tidak ada lawan."
Ia merebahkan dirinya di atas rerumputan, kemudian merentangkan kedua tangannya. "Ayo berjanji untuk kembali ke tempat ini bersama anak-anak kita suatu saat nanti. Kita melihat rembulan ini di bawah langit yang sama, meski berada di tempat yang berbeda."
Devian mengangguk setuju dan ikut merebahkan dirinya di rerumputan. Tangan kirinya terulur ke atas.
"Kenapa?" tanya Nadira.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENANG MERAH
Teen FictionSetiap tindakan, akan ada akibat yang harus ditanggung. Begitu juga dengan perceraian. Ketika sepasang kekasih yang sudah menikah memutuskan untuk bercerai, maka mereka harus sanggup menanggung akibatnya. Pertikaian yang terjadi antara Devian serta...