Bab 4 : Amarah yang terpendam

22 6 34
                                    

Meski Nadira berkali-kali membujuk dan menahan tangan Shaga, namun Shaga menepis tangannya dengan kasar dan tak mau mendengarkan.

Hingga Shaga sampai di atas gedung tinggi yang belum selesai pembangunannya. Sontak Nadira serta Sagara merasa syok.

"Shaga!!!"

Ketika Shaga hampir terjatuh, Nadira menggenggam tangannya dengan erat.

"Cita-cita lompat dari atas gedung."

"Sial! Gila itu bocah!" Sagara memekik panik, ia tidak mengira jika Shaga benar-benar serius dalam ucapannya.

Manakala Shaga berusaha melepaskan genggaman tangan Nadira yang cukup membuat lengannya sakit.

"Lepasin, Mah! Tinggalin aku sendiri! Kamu juga ngapain ikut, hah?!" gertak Shaga menunjuk Sagara.

"Tidak akan pernah! Ngapain kau ke sini?! Ingin bunuh diri?!" Suaranya meninggi, bersamaan dengan denyut jantungnya yang berdetak cepat.

"Iya!! Kenapa memangnya?!" tanya Shaga yang sudah tidak bisa menahan emosinya.

Amarah sudah tak terkendali. Nadira sudah khawatir seperti itu, dan Shaga berani menjawab dengan enteng tanpa rasa bersalah?

"Kau tidak memikirkan perasaan Mama jika kau mati?!"

Dadanya kembang kempis, sorot matanya kian tajam dan dingin.

"Mamah juga gak pernah mikirin perasaan aku, jadi imbas dong??" tanya Shaga tersenyum sinis.

Ia mendorong Nadira agak kasar hingga membuat wanita itu hilang keseimbangan. Memanfaatkan kesempatan tersebut, Shaga lari menuju pembatas kayu.

Anak itu benar-benar gila.

"Shaga!" Dengan gerakan yang spontan, Sagara mencengkeram tangan Shaga dengan kasar agar Shaga bisa turun dari pembatas.

Namun Shaga masih tetap berada di tempatnya.

"Minggir kalian!! Lepaskan aku! Aku mati pun tidak akan ada bedanya!!!"

"Jangan seperti itu!" Kedua tangan Nadira bergetar hebat, wanita itu mati-matian menahan diri agar tidak menampar putranya.

"Turun dari sana, Shaga. Akan ku jelaskan semuanya padamu, sekarang kau tenang. Kumohon..."

Suasana hening sesaat. Setelahnya, Shaga menghela napas kesal.

"Harus gini dulu baru kalian mau ngomong? Emang bisa dipercaya? Kayanya enggak, tuh," sanggah Shaga dengan tubuh yang perlahan gemetar.

"Turun, Mama lagi gak mau marah," lirih Nadira.

"Turun, Shaga. Jangan kayak gini, lah."

"Iya, aku akan turun, tenang saja. Turun dari sini kan sama saja, ya? Haha." Pandangannya sempat melihat ke bawah.

"Aku ... Aku muak dengan semua ini asal kalian tahu," sambungnya.

Menenangkan dan membujuk Shaga memang terbilang cukup sulit. Nadira takut akan satu hal.

"Tolong jangan berpikir pendek," bujuk Nadira menatap penuh harap dengan tubuhnya yang perlahan bergetar.

"Kau ini benar benar memancing emosi, Shaga!" Tanpa berpikir panjang, Sagara ikut melewati pembatas. "Ayo pulang!"

Shaga menggeser posisinya. "J-jangan mendekat. Kalau tidak ... A-aku akan melompat sekarang juga!"

"Shaga, tu_"

"Ayo lompat. Kita lompat bareng-bareng, itu pun kalau lo punya nyali. Lo pikir mati bisa buat semuanya selesai, hah?!" gertak Sagara mencengkeram tangan Shaga dan menatapnya tajam.

BENANG MERAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang