"Mamamu."
Perkataan yang sepele namun menyakitkan. Itulah yang dirasakan oleh Nadira, ibu beranak tiga yang sekarang tinggal secara terpisah dengan mantan suaminya.
Dia berada di situasi yang sangat sulit. Nadira bisa dikatakan bersalah dalam hal ini, akan tetapi, ia tak bisa disalahkan sepenuhnya.
"IYA GILA SAMPAI RASANYA AKU MAU BUNUH DIRI SETIAP HARI!! MAMAH GAK TAHU KAN?!"
Shaga tidak mengerti...
Penjelasannya dipotong begitu saja, ini hanya kesalahpahaman. Seharusnya Shaga mendengarkan penjelasannya sampai akhir, tidak langsung kalap.
"Tante jangan kasar-kasar lah ke anaknya, lebih baik dia dibawa pulang aja."
Bagi seorang ibu, tentu akan sangat menyakitkan ketika seorang anak tidak menganggap dan memanggilnya dengan sebutan mama atau ibu.
"Hhh, Sagara, Shaga, Savalas..."
Pandangannya kosong, bersamaan dengan hatinya yang sakit. Ia harus bagaimana? Situasinya tidak mudah untuk Nadira lalui seorang diri.
"Aku akan selalu ada untukmu."
Pembohong andal. Nadira menggelengkan kepala, mengacak rambut panjangnya, merasa frustrasi dengan semua yang terjadi.
"Shaga ... Bukan seperti itu kejadiannya," lirih Nadira berjalan gontai.
Tes...
Tes...
Air mata membasahi pipinya, teringat kejadian yang membuat dirinya ketakutan setengah mati. Tepatnya kejadian setelah ia pulang kerja.
Cklek!
"Hhh, capeknya."
Nadira merebahkan dirinya di sofa panjang, merasa lelah dengan hari-hari yang membosankan.
"Shaga sudah tidur belum, ya? Sejak empat Minggu ke belakang, dia selalu murung dan mengurung diri di kamar. Aku jadi khawatir." Nadira merogoh sesuatu dari tasnya. "Semoga dia suka cokelat yang ku berikan. Dia kan suka dengan makanan manis."
Ketika hendak menyalakan lampu yang gelap gulita, terdengar pecahan beling dari arah kamar Shaga.
PRANG!
Deg!
Perasaannya mendadak cemas. Semoga pikiran buruknya tidak benar-benar terjadi.
"Shaga!"
Dengan langkah kaki yang cepat, Nadira berlari menuju kamar Shaga yang tak jauh berbeda dari ruang tengah.
"Ouch!"
Sesuatu yang kasar mengenai kakinya, dapat ia rasakan darah segar mengalir, menyisakan suhu yang hangat dan bau amis yang menyengat.
Tanpa pikir panjang, Nadira menyalakan saklar lampu. Betapa terkejutnya Nadira ketika melihat banyak darah berceceran dengan pecahan vas bunga yang mengotori lantai.
Terlebih kondisi Shaga yang sangat kritis. Goresan vas pada tangannya, hampir mengenai urat nadi. Darah tak henti-hentinya mengalir deras, membuat wajah Shaga menjadi sangat pucat.
"Shaga! Astagfirullah, Nak! Apa yang kau lakukan?!"
Nadira memekik panik, perasaannya kalut. Ia segera memberikan pertolongan pertama pada Shaga yang tergeletak tak berdaya.
"Kakak ... Kenapa Mamah gak ngizinin Shaga ketemu sama kak Gara dan Savalas? Mau main, Ma...."
Di situasi seperti ini, Nadira tidak bisa menjawab apa yang anaknya inginkan. Sebisa mungkin Nadira mencari seribu cara untuk menghentikan darah yang mengalir dari kedua tangan putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENANG MERAH
Teen FictionSetiap tindakan, akan ada akibat yang harus ditanggung. Begitu juga dengan perceraian. Ketika sepasang kekasih yang sudah menikah memutuskan untuk bercerai, maka mereka harus sanggup menanggung akibatnya. Pertikaian yang terjadi antara Devian serta...