Beberapa bulan setelah mereka tinggal satu atap, kini kondisi mulai membaik, meski tak berjalan lancar, karena Sagara, Shaga dan Savalas masih belum bisa beradaptasi.
Kini, Nadira berada di luar ruangan. Seperti yang Devian janjikan padanya, ia memiliki kenalan yang bisa mengembalikan ingatan Shaga yang sudah lama terpendam. Dan hari ini adalah hari yang tepat untuk melakukan pemeriksaan.
"Dengan Ibu Nadira?" tanya seorang dokter wanita.
"Iya, dengan saya."
"Terapi pertama sudah selesai. Namun sepertinya ingatan Shaga sudah lama sekali terpendam, mungkin ini akan sedikit sulit untuk mengembalikan seluruh ingatan yang sudah terhapus. Tapi kami usahakan untuk melakukan yang terbaik."
"Baik, Dok. Terima kasih, saya izin masuk."
Dokter itu mengangguk dan berjalan menjauh setelah mengizinkan Nadira memasuki ruangan.
Ketika Nadira masuk, Shaga sudah meliriknya. Entah mengapa hal itu membuat Nadira sedikit canggung, ketakutan mengepung dirinya. Takut jika ingatan Shaga kembali, putra tengahnya akan membencinya. Wanita itu sudah berada di belakang Shaga.
"Ma..." Shaga melingkarkan kedua tangannya di pinggang Nadira, memeluk wanita hebat yang melahirkannya. "Maafin Shaga, ya, selama ini mungkin Shaga banyak nyusahin Mamah."
Terkejut dengan Shaga yang tiba-tiba memeluknya, Nadira membalas pelukan Shaga dan menggeleng samar. "Semua berawal dari kesalahan Mama, kamu tidak salah, dan kamu tidak pernah merepotkan Mama."
"Enggak, Mah. Shaga ... Shaga juga salah," ucapnya semakin mengeratkan pelukannya pada Nadira.
Helaan napas panjang Nadira hembuskan dengan perlahan. Suara-suara di kepalanya yang mengatakan bahwa ia gagal dan sudah terlambat, tidak akan pernah membuat tekadnya goyah.
"Kita perbaiki semuanya dari awal, ya?"
"Iya," jawab Shaga terdengar meragukan.
"Kenapa, hm? Kamu masih ragu?" tanya Nadira melonggarkan pelukannya.
Shaga mengangguk. "I-iya, Shaga masih agak takut sama om ... E-eh, a-ayah..."
"Mama akan beri peringatan keras pada ayahmu jika dia berani membentak mu lagi, sayang," ucap Nadira.
"Gak bisa dipercaya," balas Shaga tertawa kecil.
"Jadi, apa yang harus Mama lakukan agar kamu percaya sama yang Mama katakan, hm?" tanya Nadira memberikan senyum tipisnya.
"Ya gak tahu, kok nanya Shaga," jawab Shaga memberikan senyuman manisnya.
Melihat itu, Nadira hanya menggelengkan kepalanya, tak segan-segan mencubit pipi Shaga yang sedikit berisi dengan kedua tangannya. "Mau pulang?"
"Mau, Shaga jenuh lama-lama di sini."
Nadira mengangguk dan mengulurkan tangannya. "Mau genggam tangan Mama?"
"Iya!" balas Shaga langsung merangkul lengan ibunya dengan antusias.
Mereka berdua pulang ke rumah dengan Shaga yang masih terus menggenggam erat lengannya.
Membuat Nadira kembali pada masa Shaga dan kedua anaknya yang lain sekolah di taman kanak-kanak, suasananya sangat persis seperti sebelas tahun yang lalu.
~BENANG MERAH~
Setelah dua jam mereka pulang, Nadira kembali mengerjakan pekerjaan rumah yang sempat tertunda, sementara Shaga mengemil beberapa cokelat. Begitupun dengan Devian yang baru saja pulang kerja.
"H-hai, Ayah," sapa Shaga dengan muka tegangnya karena ketahuan makan cokelat tiga bungkus.
"Astaga, Shaga. Sedang apa kau?" tanya Devian merasa syok dengan penampilan Shaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
BENANG MERAH
Teen FictionSetiap tindakan, akan ada akibat yang harus ditanggung. Begitu juga dengan perceraian. Ketika sepasang kekasih yang sudah menikah memutuskan untuk bercerai, maka mereka harus sanggup menanggung akibatnya. Pertikaian yang terjadi antara Devian serta...