Selama berjalan di lorong rumah sakit, mereka tidak bicara apa-apa. Keheningan sudah seperti teman yang selalu ada di setiap situasi bagi mereka.
"Memang ruangannya di mana?" tanya Devian.
"Belok kanan, turun tangga, pojok kiri."
Devian hanya mengangguk menanggapi jawabannya. Seolah ada yang sedang menjadi beban pikiran, ia melirik Nadira. "Menurutmu bagaimana?"
"Apa kau juga setuju dengan keinginanku?"
"Jawab dulu pertanyaanku," balas Devian menatap datar.
Entah mengapa hal itu malah membuat Nadira merasa gugup, ada keraguan dalam hatinya ketika ingin menjawab pertanyaan Devian.
"Hhh, aku tak pernah menyangka jika akan seperti ini jadinya," gumam Devian.
"Menurutku tidak ada salahnya menuruti permintaan Shaga dan Savalas. Ngomong-ngomong soal Shaga." Nadira menatap Devian penuh keseriusan.
"Kenapa dengan Shaga?"
"Jangan pernah membentaknya. Dia lemah dengan suara keras dan bentakan. Dulu aku tidak sengaja membentaknya, dan dia pingsan. Bahkan sampai membenciku. Ya, begitulah. Intinya jika berhadapan dengannya, sebisa mungkin kita harus bernada lembut."
Penjelasan Nadira membuat Devian terdiam.
"Pantas saja waktu itu dia langsung ... Ah, sudahlah!" kesal Devian mengacak rambutnya kasar.
Keduanya kembali diam, hingga perjalan membawa mereka menuju ruang bayi. Tempat paling bersejarah bagi mereka. Devian berdiri di depan jendela kaca pembatas dan melanjutkan pembicaraan.
"Untuk masalah Shaga, sepertinya aku bisa mengobati anak itu hingga ingatannya kembali. Terapi apa yang kau gunakan untuk anak itu?"
"Penekanan memori," jawab Nadira begitu lirih.
"Penekanan memori? Hm, sepertinya itu bisa diobati. Aku punya kenalan. Semoga saja bisa diatasi."
"Semoga," balas Nadira menatap datar ruang bayi.
Percakapan mereka habis. Senyap mulai menyapa seiring berjalannya waktu. Hal tersebut membuat Devian merasa tidak nyaman. Ia melirik Nadira.
"Aku ingin bertanya satu hal padamu sebelum kita memulai semuanya dari awal lagi." Pada akhirnya, Devian mengutarakan pertanyaan yang sudah lama terpendam.
"Apa?" tanya Nadira menoleh menatap Devian.
Devian menggigit bibirnya, entah mengapa terasa berat baginya untuk mengutarakan secara langsung.
"Apakah kau masih memiliki rasa yang sama padaku? Entah itu dulu atau pun sekarang, atau perasaan itu sudah berubah?"
DEG!
Pertanyaan yang sama sekali tidak Nadira pikiran akan terlontar padanya. Apakah dia harus menjawab? Yang bahkan dirinya saja tidak mengerti dengan perasaan yang ia alami sekarang?
Nadira merapatkan bibirnya, terlalu berat dan kelu untuk diutarakan. Apa Nadira jawab sesuai kata hati?
"Masih sama, hanya saja ada beberapa serpihan yang masih tersisa. Namun bukan berarti rasa itu hilang," jawab Nadira.
Keadaan kembali hening. Apakah jawaban Nadira itu benar-benar sesuai dengan perasaannya?
Mendengar jawaban Nadira, Devian mengulum senyuman tipis. Terdapat rasa lega di hatinya ketika jawaban yang ia tunggu-tunggu terucap dari mulut Nadira sendiri.
"Oke, ayo masuk mobil."
"Hah? Ke mana? Ngapain?" tanya Nadira setengah terkejut.
"Kita ke rumah Abbah, Yogyakarta."
KAMU SEDANG MEMBACA
BENANG MERAH
Teen FictionSetiap tindakan, akan ada akibat yang harus ditanggung. Begitu juga dengan perceraian. Ketika sepasang kekasih yang sudah menikah memutuskan untuk bercerai, maka mereka harus sanggup menanggung akibatnya. Pertikaian yang terjadi antara Devian serta...