Bab 24 : Cemburu

19 7 13
                                    

Savalas sedang berada di dalam kamarnya, mengurung diri sambil menekuk lutut. Pandangannya terlihat kosong, dan hanya fokus menatap satu objek, sebuah pigura kecil yang berharga.

Tangannya mengambil pigura tersebut dan mengusapnya perlahan. Sebuah pigura yang lengkap, bukan? Sekarang keinginannya terwujud, dia memiliki orang tua yang lengkap, dan dia juga memiliki dua orang kakak laki-laki yang sangat hebat di matanya.

Namun, rupanya tinggal satu atap bersama keluarga yang sudah lama berpisah tidaklah mudah. Savalas harus beradaptasi dengan perubahan aturan dan pola pikir.

"Lo beli mie sebanyak ini?"

"Ada onigiri juga."

"Tapi ada mie-nya, kan? Dan ini banyak banget, gila lo beli ginian. Pengen keracunan? Gue buang!"

Ketika Sagara hendak membuang mie instan yang Savalas beli, Savalas mengumpat tanpa sengaja.

"Bangsat."

"Ngomong apa barusan, hah?" tanya Sagara kembali mendekati Savalas dan menatapnya dingin.

"Sorry, gue emosi tadi," jawab Savalas mengusap kasar wajahnya.

"Tidur sana, tapi mie ini gue sita."

"Cih, gue minta satu aja."

"Gak."

"Kenapa sih?" tanya Savalas menatap kesal.

"Tidur, Savalas."

"Ayah aja gak pernah ngelarang gue mau makan mie tiap hari. Kok lo larang sih?"

"Lo gak sadar posisi, hah? Di sini, gue adalah Kakak lo, Savalas. Dan jangan samain gue sama ayah. Lo nurut aja apa susahnya sih? Mie itu gak sehat, dan gue tau lo pasti sering makan ini karena gak pernah diurus sama ayah, kan," balas Sagara tetap teguh dengan pendiriannya.

Savalas menatap marah Sagara. "Terserah!"

Mengingat itu, Savalas kembali merasa kesal. Ingatan masa kecilnya pun tak terlalu kuat untuk bisa ia ingat. Yang pasti, Savalas merasa Sagara dan dirinya yang dulu tidak seperti ini.

Sejujurnya Savalas senang bisa tinggal satu atap bersama Sagara dan Shaga, ia merasa memiliki dua kstaria yang melindunginya dari ancaman. Tapi di satu sisi, dia juga membenci kakak sulungnya itu yang selalu melarang apa yang menjadi kebahagiaannya.

"Mau makan mie atau tidak makan sama sekali, apa peduli Ayah?"

"Akh! Gue benci."

Sorot matanya penuh akan dendam dan luka yang masih belum bisa dimaafkan olehnya.

Sayup-sayup, ia mendengar suara percakapan. Sepertinya Shaga sudah pulang.

"Gue mau kebebasan, kenapa dilarang? Ayah gak ngelarang loh, kenapa dia ngelarang gue ngelakuin apa yang gue suka? Apa yang buat gue bahagia?"

"Punya sopan santun, gak? Gue belum selesai ngomong, Shaga. Kalian berdua ini sama aja, ya, sama sama gak punya sopan santun."

Mendengar omelan Sagara, membuatnya berdecak sebal.

"Emang dia juga punya sopan santun, gitu? Kayak yang paling bener aja," komen Savalas dari dalam kamar.

Setelah berdiam diri lumayan lama di dalam kamar, dapat Savalas rasakan perutnya berbunyi. Sial, dia lapar.

"Mau gimana lagi," gumam Savalas.

Ia membuka kunci dan berjalan menuju dapur, melewati ruang keluarga yang diisi oleh Sagara serta Shaga.

BENANG MERAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang