Bab 11 : Goyah

23 8 26
                                    

Ruangan putih dengan obat-obatan yang menyengat indra penciuman. Sagara masih berada di koridor rumah sakit, menjaga Savalas yang ditinggal pergi sendirian.

Merenung dan melamun. Itulah yang selalu Sagara lakukan setiap harinya. Merenungi betapa kejamnya kecaman dunia. Memaksa seorang anak kecil untuk menjadi dewasa di usianya yang masih sangat muda.

"Hhh!!

Drrtt!! Drrtt!!

Dering ponsel berbunyi, membuatnya harus merogoh ponsel di saku celana.

"Hn? Shaga?"

Bertambah lagi satu masalahnya. Mau tidak mau Sagara mengangkat telepon.

"Hn?"

"K-kakak di mana?" 

Dahi Sagara berkerut, sejenak menjauhkan ponsel dari daun telinga.

"Di rumah sakit, nemenin Savalas."

Perasaan Shaga sedikit senang ketika Sagara menjawab panggilannya. "M-maaf, tapi ... A-apa, apa K-kakak bisa ke rumahku dulu? M-mamah, dia..."

Mengernyitkan keningnya, Sagara kembali bertanya. "Hah? Dia? Dia kenapa?"

"N-nanti aku ceritain. Kesini dulu cepet. A-aku jadi agak khawatir."

Helaan napas terdengar. Sagara memijit keningnya yang pusing, meringis sesaat. "Oke."

Tanpa pikir panjang, Sagara mematikan ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam saku celana. Sebelum benar-benar pergi, Sagara mengintip sebentar dari balik jendela, memastikan keadaan Savalas.

"Oh, dia tidur. Baguslah, gak ngerepotin gue lagi."

Selepas melihat Savalas dalam kondisi tenang, Sagara turun ke lobi dan menuju ke parkiran.

"Rumahnya masih di sana kan, ya?"

~BENANG MERAH~

Begitu sampai di pekarangan rumah Nadira, Sagara memarkirkan motornya dan melepas helm.

Langkahnya terhenti ketika Sagara melihat rumah yang dulu ia tempati bersama keluarganya. Rumah sederhana itu tidak banyak berubah, hanya ditambah bunga-bunga yang ditaruh tepat berhadapan dengan matahari.

"Mama! Mama! Kak Sagara mukul kepala Savalas! Hiks, sakit!"

Seorang anak kecil berlari dan langsung memeluk leher ibunya sambil menangis tersedu-sedu.

"Astagfirullah, ya ampun sayang. Sagara, kenapa mukul Savalas?" tanya Nadira mengelus kepala Savalas.

"Dia berisik, Ma. Gara gak suka orang berisik, apalagi orang cengeng kayak dia. Mirip cewek," jawab Sagara dengan ekspresi kesalnya.

Hal tersebut membuat Nadira menggelengkan kepalanya, menghela napas sejenak. "Hei, udah, udah. Sama saudara sendiri gak boleh berantem. Ayo minta maaf barengan."

"Hmph! Gak mau! Kak Sagara yang salah! Wlee!!" Savalas menjulurkan lidahnya dan kembali memeluk leher Nadira.

Pipi Sagara memerah, antara kesal dan malu. "Ish! Kamu juga salah karena ganggu aku! Ma, Savalas gak mau ngaku! Dia cengeng kayak cewek!"

"Kalian ini, ya ampun. Kalau kalian saling mengakui kesalahan, Mama belikan kalian es krim. Mau gak? Vanilla dan cokelat?"

"Mau!" Savalas memekik girang.

Ekspresi Sagara terlihat kesal, namun ia mengulurkan tangannya. "M-minta maaf karena udah mukul kamu."

"Aku juga minta maaf udah gangguin Kakak tidur," ucap Savalas membalas uluran tangan Sagara.

BENANG MERAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang