Bab 3 : Asing

23 8 23
                                    

Apa yang dilakukan olehnya adalah kesalahan besar? Dia hanya takut. Takut putranya akan membenci. Takut jika putranya akan pergi meninggalkan ia seorang diri.

"Lihat, mereka mungil sekali..."

Telapak tangannya menyentuh lapisan kaca yang menghalanginya dari bayi yang baru saja lahir.

"Kau benar. Sudah memikirkan nama untuk putra kita?"

Nadira menatap lurus dengan binar di matanya, seraya menganggukkan kepala sebelum akhirnya menoleh kepada Devian.

"Tentu saja sudah. Kau? Ada rekomendasi nama?"

Devian mengerutkan keningnya, memikirkan nama yang pas untuk ketiga putranya.

"Oh, bagaimana kalau anak yang pertama keluar dari perutmu namanya Sagara Zayyan Alvarez?"

Senyuman mengembang, hingga parasnya yang cantik itu menampilkan semburat merah samar di pipinya yang pucat.

"Aku menyukainya."

Devian serta Nadira melihat ketiga anak kembarnya yang sudah mereka tunggu-tunggu dengan penuh kesabaran selama sembilan bulan.

"Nadira, maafkan aku, ya. Aku tidak bisa berada di sampingmu ketika kau melahirkan anak-anak kita."

Nadira menggeleng, memberikan senyuman padanya.

"Jangan merasa bersalah. Pekerjaanmu harus diselesaikan. Yang penting, aku dan ketiga anak kita selamat, tidak ada salah satu dari kita yang pergi."

Dahi Devian berkerut, ia tidak suka arah pembicaraan Nadira.

"Jangan bicara yang tidak-tidak. Kita rawat dan besarkan anak kita bersama-sama, ya," ucap Devian menggenggam hangat kedua tangan Nadira.

"Ya. Sampai mereka tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan, gagah, dan berani."

Keduanya tersenyum hangat, saling memberi tatapan tulus yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.

"Terima kasih sudah berjuang dan menjadikan kita sebagai orang tua, Nadira. Kau kuat," ucap Devian mengeratkan genggaman tangannya.

Nadira menggeleng pelan. "Mereka juga kuat, sudah mau berjuang untuk dilahirkan ke dunia."

"Ayo, kembali ke ruangan. Kau masih harus dirawat selama beberapa hari di sini, Nadira. Jangan terlalu lelah," ajak Devian mendorong kursi roda Nadira, menjauh dari kamar bayi.

"Ouch!"

Sial, memori itu lagi. Bagaimana bisa pikirannya tiba-tiba kosong dan mengingat kenangan itu?

Jari telunjuknya berdarah karena terkena tusukan jarum ketika ia sedang menjahit. Belum selesai sampai di situ, ia melihat Shaga mengenakan jaket dan melewatinya begitu saja.

"Mau ke mana kau malam-malam seperti ini?" tanya Nadira setelah menempelkan plester di jari telunjuknya.

Pertanyaan Nadira membuat langkah kaki Shaga terhenti. Tanpa menoleh ke arahnya, Shaga menjawab.

"Gak tau, yang penting keluar," jawab Shaga membuka pintu.

"Ini sudah malam. Kembali ke kamarmu, kau belum makan apa-apa sejak kau siuman," tegur Nadira.

Ketika Shaga hendak berjalan menuju luar, ia melirik sekilas ke arah Nadira yang memandangnya dengan risau.

"Terus? Emangnya aku peduli? Aku bisa cari makan di luar."

Seusai menjawab, Shaga berlari tak tentu arah. Ia tak peduli ke mana langkah kakinya akan membawa pergi, yang pasti Shaga ingin ketenangan.

"Hei, tunggu! Argh!"

BENANG MERAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang