Bab 10 : Jeruji

28 8 28
                                    

Begitu sampai di rumah, tangan Nadira masih bergetar hebat. Memang seharusnya ia tidak menurut ketika Shaga hendak mengantarnya ke rumah sakit.

Semua kenangan pahit dan manis ada di rumah sakit itu. Dan Nadira sangat membencinya.

"M-mamah? Mamah gak apa-apa? Duduk dulu, Mah."

Sejujurnya, Shaga tidak mengerti dengan apa yang terjadi antara Nadira dengan Devian. Namun, melihat raut wajah Nadira yang sangat marah bercampur kecewa, membuatnya merasa iba.

Dan tak biasanya, Nadira langsung duduk tanpa bicara apa-apa.

"Emm, aku bawa air aja kali ya?"

Dengan rasa bingungnya, Shaga bergegas mengambilkan air minum untuk Nadira.

"Minum dulu, Mah."

Wanita itu tersentak dengan Shaga yang menyodorkannya segelas air mineral. Ia menerima dan menghabiskannya dalam sekali tegukan. Setelah itu, Nadira menyimpan gelas tersebut di atas meja tanpa menoleh, atau bahkan mengeluarkan suaranya.

"Gapapa? Mamah kalau ... Kalau mau keluarin emosi di sini aja, gak usah ditahan," ucap Shaga.

Meski dirinya sedikit meragukan apa yang ia ucapkan. Tapi melihat Nadira yang seperti ini, membuatnya serba salah.

"Anak ini..."

Sepintas, ingatan yang samar terputar.

"Kalau kau sedang emosi, lampiaskan saja. Memang ada yang bilang memendam emosi negatif itu menyenangkan?"

Cih, samar-samar ia melihat sifat Devian di diri Shaga. Hal itu membuat Nadira tanpa sengaja menatap Shaga dengan tajam.

Deg!

"M-mah?"

Shaga menepuk pundak Nadira, berusaha menyadarkan ibunya sebelum hal tak diinginkan terjadi. Belum pernah ia melihat tatapan Nadira yang dingin dan tanpa emosi.

Namun, hanya lirikan mata yang menjawab. Hal itu membuat Shaga tidak tahu harus bicara apa selain menyandarkan kepalanya ke bahu Nadira, dan memeluknya.

"Maaf," ucap Shaga berbisik lirih.

Nadira masih tidak menjawab. Hanya helaan napas berat yang terdengar.

"Mah, Mamah kenapa? Aku bilang kalau mau marah ya marah aja, jangan ditahan terus."

"Hhh, tidak ada gunanya marah."

"Mah, aku ... Aku minta maaf, ya.  Kemarin aku juga udah berlebihan sama Mamah," sesal Shaga masih memeluk Nadira.

Nadira menggeleng singkat. Wanita itu mencengkeram kepalanya seraya meringis pelan.

"Ibu yang gagal."

Meski lirih, Shaga masih bisa mendengar apa yang Nadira ucapkan. Lirikan matanya mengarah pada Nadira yang sedang putus asa.

"Enggak kok, Mamah gak pernah gagal jadi seorang ibu, cuma Mamah terlalu lemah aja buat menghadapi semua yang udah terjadi dalam kehidupan Mamah."

"Makanya, sekarang kalau ada apa-apa cerita aja sama aku. Walau  aku gak inget apa-apa, seengaknya Mamah bisa lebih lega karena cerita."

Suasana tak jauh berbeda dari sebelumnya. Nadira masih diam, atau dia hanya akan berucap sepatah kata singkat yang mematikan topik.

"Sekarang Mamah tidur. Istirahat, ya?"

"Gak, Mama gak ngantuk," tolak Nadira.

"Kenapa? Ya udah, aku temenin di sini."

Dari tatapan yang Shaga berikan, serta ucapan yang dia lontarkan padanya, mengingatkan Nadira pada kenangan yang sudah lama terpendam.

BENANG MERAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang