Bab 18 : Meluruskan kesalahpahaman

24 7 17
                                    

Devian tiba di ruangannya dengan perasaan kalut. Ia merebahkan dirinya di sofa sesaat, sebelum dia mengajarkan kembali pekerjaannya yang menumpuk.

"Hhh."

Helaan napas lelah dihembuskan. Masalah yang dihadapi, terlalu rumit untuk diselesaikan. Ia membuka kelopak matanya dan mengeluarkan sebungkus nasi yang tadi diberikan oleh Nadira.

"Nasi kuning ini ... Setahuku yang ada di pinggir jalan dekat rumah sakit itu, kan?" gumam Devian mulai mencicipinya.

"Makananmu mana?"

Sial, suara Nadira terdengar lagi.

"Hn? Sedang dibuat. Kau makan saja duluan."

Nadira mengangguk dan mematuhi Devian. Ia melahap nasi kuning tersebut sambil menikmati cita rasa nasi kuning itu di mulutnya. Manakala Devian menatap Nadira dengan lekat.

"Ada sesuatu di wajahku? Tatapan kamu mengerikan, heh!" tegur Nadira yang mendapatkan tawa Devian.

"Tidak, tidak ada apa-apa, kok. Usia kandungan kamu delapan bulan, kan?"

"Iya, lalu?"

Sebelum Devian menjawab, tatapannya mengarah pada perut Nadira yang sudah besar. Hanya tinggal satu bulan lagi, mereka akan menyandang status sebagai orang tua.

"Apa kata dokter tentang bayi kita?"

"Dokter mengatakan kondisi mereka bertiga sehat. Semua tidak ada kendala kalau untuk anak-anak kita," jawab Nadira kemudian meneguk segelas teh hangat.

"Lalu untuk kamu?"

"Em, dikasih nasihat. Aku harus istirahat dan tidak melakukan aktivitas berlebih, aku juga disuruh mengelola stres. Itu saja."

"Nah! Denger!"

"Ish."

Dengan perasaan kesal, Nadira membuang muka dan menyelesaikan sarapannya yang sempat tertunda karena percakapan tadi.

"Intinya, kalau ada masalah, ceritakan. Jangan memendam, apalagi hilang ke_"

"Udah cukup, iya, iya, aku ngerti. Kamu habiskan sarapan punyaku, aku sudah kenyang," sanggah Nadira memberikan sepiring nasi kuning yang masih banyak tersisa.

Loh? Apa dia marah?

"Ini, Pak. Silakan di nikmati."

Tepat di saat itu juga, pelayan datang membawakan nasi kuning yang Devian pesan. Untuk sesaat, keduanya saling bertukar pandang.

"Ayo, makan. Aku sudah kenyang, Devian."

"Heh, gak bisa gitu. Yang merengek pagi-pagi buta minta beli nasi kuning tuh siapa? Enak aja, aku baru mau makan punyaku. Habiskan, mubazir," tolak Devian.

Mendengar Devian yang menolak mentah-mentah, Nadira mengerucutkan bibirnya dan mengelus perut.

"Bukan aku kok yang minta. Anak-anak nih yang mau. Iya kan, Nak?"

"Alasan macam apa itu? Dasar perempuan. Hhh, ya sudah lah. Aku bungkus punyamu, nanti makan lagi kalau lapar."

Senyuman merekah di bibir Nadira. Hal itu membuat Devian menggeleng singkat, tidak habis pikir dengan isi kepala Nadira. Terkadang wanita itu bisa selembut malaikat, dan sejahat iblis. Tapi itulah yang membuat Devian mencintainya.

"Cih, wanita itu lagi. Sialan!"

Tersadar akan dirinya yang sedang memikirkan Nadira, Devian pun segera menepis perasaan rindunya. Memangnya apa untungnya mengingat wanita itu? Hanya membuang-buang waktu.

BENANG MERAH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang