I will hold my own hand

421 113 75
                                    

Disana, orang yang pernah menemani hari harinya selama dua tahun sedang terduduk sambil memainkan ponselnya. Warna rambutnya yang terang membuatnya lebih mudah untuk ditemukan.

Bangku yang mulanya kosong, kini terlihat sudah diisi oleh seseorang yang baru saja tiba.

Mendongakan kepalanya untuk melihat sejenak, dan menyapa.

"Hai." Tama memulai lebih dulu, berusaha membuat atmosfer setidaknya lebih hangat, tapi Jennie hanya membalasnya dengan senyum tipisnya.

Sudah satu tahun setelah mereka putus, baru kali ini ia bisa berbicara secara face to face seperti ini dengan Jennie. Banyak hal yang ingin Tama jelaskan pada Jennie, tapi wanita tersebut selalu saja menghindari dirinya, dimulai dari keputusanya malam itu didalam mobil bahkan sampai sekarang, Tama benar benar hilang kontak dengan Jennie.

Kalau bukan karna bantuan dari Ten dan Lisa juga kayaknya Tama gak bisa buat ketemu sama Jennie.

"Kenapa?" Intonasi yang dingin itu membuat Tama sadar kalau sekarang mereka berdua layaknya seperti orang asing.

Tama menghela nafasnya sesaat, ia menatap manik mata yang berada didepanya. Bukan tatapan hangat lagi yang ia temui disana, semuanya hilang, dan ia sadar kalau itu adalah karna dirinya.

Jennie benar benar menutup dirinya sendiri.

"Long time no see—" Tama belum selesai bicara, tapi Jennie sudah memotongnya. "Seminggu lalu baru ketemu kan, di cafe."

Tama terkekeh kecil, satu yang ia ketahui sekarang, Jennie yang sekarang duduk dihadapanya ini tidak suka bertele-tele.

"Gimana kabar......lo?" Ada jeda sebentar saat Tama menanyakan kabar Jennie.

Jennie mengedipkan matanya dan mengalihkan atensinya sebentar pada jalanan luar, sebelum akhirnya kembali bertemu dengan manik tajam Tama.

"Baik, lo sendiri gimana?"

Tama menganggukan kepalanya. "Baik, sebelumnya sorry kalo gue kesanya maksa banget buat ketemu sama lo sampe harus minta bantuan sama Ten Lisa, tapi banyak hal yang harus gue jelaskan disini, tapi kayaknya maaf doang nggak cukup buat menutup kesalahan gue ya, Jen?"

Jennie menyeringai, ia mengusap pelipisnya pelan. "Emangnya kalo mau ngasih penjelasan itu harus nunggu setahun dulu ya? Gue udah lupa." Jennie meremat tali tasnya kuat, menahan air matanya untuk tidak jatuh. Capek untuk selalu berpura-pura kalau dia terlihat kuat diluar, yang nyatanya tidak seperti itu.

"Tapi karna gue juga udah disini, jadi yaudah gue dengerin penjelasan lo." Setidaknya Tama diberi kesempatan untuk memberikan penjelasanya pada Jennie.

"Kalo setelah ini lo benci gue, gapapa, emang seharusnya begitu. Setelah malem itu, gue berusaha buat hubungin lo, tapi nggak bisa, besoknya gue ke rumah lo, tapi nihil, Nadja bilang lo pergi ke Yogyakarta, besoknya gue dateng lagi berharap lo udah pulang tapi ternyata belum. Gue tanya ke Lisa, Johnny sama Ten, mereka nggak ada yang tau—"

"Jadi intinya?"

"Gue ganggu waktu lo ya?"

"Kebetulan gue sibuk, tapi gue sempetin dateng." Tama merasa ada belati yang menusuk dadanya, ia sendiri gak pernah mendengar Jennie berbicara denganya dengan intonasi sedingin ini, gak pernah sama sekali, baru kali ini. Orang yang dulu begitu peduli pada dirinya, melihatnya dengan raut khawatirnya kini berubah menjadi orang yang paling dingin yang pernah ia temui.

𝐃𝐮𝐚 𝐩𝐮𝐥𝐮𝐡 𝐞𝐦𝐩𝐚𝐭 𝐣𝐚𝐦 𝐭𝐮𝐣𝐮𝐡 𝐡𝐚𝐫𝐢Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang