3b

4.3K 255 16
                                    

Part 3B

"Ada di rumah, Kang?" jawabku pelan.

"Panggil atuh, Ris, biar makan bareng-bareng sini," ujar Kang Darman.

"Biar saja Kang, paling-paling juga si Risma sudah bungkusin buat dibawa pulang," sindir Kang Amran. Dalam hati aku hanya bisa mengelus dada.

"Ical, tolong kamu panggil Riswan ke mari, bilang saja dipanggil uwa." Kang Darman menyuruh anak tertua Kang Amran, keponakanku untuk memanggil suamiku.

"Baik, Wa," jawab Ical, langsung berlari keluar rumah.

"Lagaknya macam jendral saja, sampai harus dipanggil-panggil," celetuk bapak.

"Sudah-sudah kita makan lebih dulu saja, buat apa nungguin makan hanya untuk orang yang tidak penting!" ketus Bapak, lalu mengambil piring dan langsung menyendok nasi dari bakul bambu, diikuti oleh saudara-saudaraku yang memang tidak suka dengan Bang Riswan. Kulihat Kang Darman seperti menghela nafas, kakak pertamaku pun baru menyendok nasi di bakul yang berbeda, lalu diikuti oleh istri, anak, dan menantunya.

"Kamu kok nggak makan, Risma?" tanya Teh Uni, kakak iparku, istri dari Kang Darman. Sembari ingin memasukkan sendok nasi ke dalam mulutnya.

"Nan--"

"Teh Risma mah sudah misahin duluan, Teh Uni, buat suami sama anak-anaknya, kita ini hanya makan sisanya saja," sindir Samsiah, langsung nusuk ke hati. Memotong ucapanku.

Ingin rasanya kujambak rambut adikku yang bermulut tajam itu karena segala ucapan fitnahnya. Dadaku mulai terasa panas, Emak yang duduk di sebelahku lantas mengusap-usap pelan pahaku, bermaksud menyabarkan

"Yah, jika benar tidak apa-apa, 'kan, setahu akang memang hanya Risma yang suka bantu Emak di dapur," seloroh Kang Darman, membelaku. Wajah Ela dan Samsiah terlihat cemberut.

"Risma tidak pernah misah-misahin makanan, Emak sendiri kok yang sengaja bungkusan buat dia dan anak-anaknya," sahut emak, membelaku. "Kasihan, 'kan sudah capek-capek masak di dapur," jelas Emak lagi.

"Emak memang selalu beda perlakuan jika dengan Risma," ucap jahat Amran menuduh Emak. Sekarang Emak yang langsung terdiam, karena dianggap membedakan anak-anaknya.

"Dengar tuh Sawiyah, jangan suka beda-bedain anak makanya!" sentak Bapak. "Akhirnya, malu, 'kan diceplosin sama anak." Paras wajah Emak terlihat sedih, beliau langsung menunduk.

"Sudah-sudah, acara kumpul-kumpul kok, malah jadi ribut begini," sela Kang Darman.

Ical, yang tadi disuruh memanggil suamiku, langsung masuk rumah.

"Riswannya mana, Cal?" Ical menjawab sembari sedikit terengah-engah, sepertinya dia seperti habis berlari.

"Sedang jalan ke mari, Wak, sebentar lagi juga sampai."

"Assalamualaikum," ucap salam suamiku dari depan pintu, sembari menggendong dan menuntun kedua anakku.

Bapak dan ketiga saudaraku yang memang tidak suka dengan Bang Riswan, mereka acuh-acuh saja tidak menjawab salam doa dari suamiku, menoleh pun tidak.

"Ayuk Riswan sini makan dulu sama-sama," ajak Kang Darman. Yuli anak pertamaku melepas pegangan tangan ayahnya lantas berlari ke arahku.

Bang Riswan mulai masuk, baru saja dua langkah mendekati Kang Darman, Bapak kembali bicara.

"Riswan, si Risma, 'kan sudah ngebungkus dan misahin makanan buat kamu, jadi yah tidak usah lagi makan bareng di sini, minta saja sama si Risma nasi dan lauk yang sudah dia bungkus tadi," sindir Bapak. Terlihat memerah muka suamiku karena menahan malu.

"Baik, Pak," jawab suamiku pelan, sementara air mataku mulai mengembang. Sakit dan tidak tega rasanya melihat ayah dari anak-anakku dihinakan seperti itu. Kang Darman dan Teh Uni, juga kedua anaknya, yang juga cucu Bapak terlihat bingung, mendengar ucapan kakeknya yang begitu tajam terhadap Bang Riswan.

"Biar sajalah, Pak, makanan yang tersedia banyak ini," jelas Kang Darman.

"Iya silahkan saja makan, jika tidak punya malu," ketus Bapak lagi, suamiku hanya menunduk saja, lalu berbelok arah dan duduk disebelahku. Kang Darman yang sepertinya tidak enak hati karena sudah menawari Bang Riswan makan, lantas menyendoki nasi beserta lauk-pauknya buat suamiku.
Bang Riswan mencoba menolak, mungkin karena malu mendengar ucapan Bapak, tetapi kakak tertuaku itu tetap memaksa. Bang Riswan akhirnya mengambil nasi yang sudah disodorkan Kang Darman.

"Sudah, makan saja Riswan, lauk pauk yang sudah dibungkus, 'kan bisa buat makan malam nanti, sindir Kang Amran.

"Iya, lagi pula jarang-jarang, 'kan, makan enak," celetuk Ela, mereka lalu menertawakan Bang Riswan. Air mataku mengembang. Perih rasanya suamiku direndahkan seperti itu.

Bang Riswan menoleh ke arahku, memandangku dengan tatapan sedih, berbisik pelan di telingaku." Percayalah dengan suamimu ini, Neng, suatu saat mereka akan menerima balasannya, karena sudah melukai hatimu. Persiapkan dirimu untuk bersikap tega nanti."

Aku pun menatap wajahnya, ada gurat kegeraman pada tatapan matanya. Aku sendiri pun tidak paham dan mengerti apa maksud perkataannya yang seperti bernada ancaman. Ucapannya sama seperti saat aku baru mengenalnya, terkesan kaku dan tegas, sudah sangat lama aku tidak mendengar Bang Riswan berbicara semeyakinkan itu.

"Jika mereka tega, aku akan lebih tega, Bang. Bukankah orang sombong harus dibalas juga dengan kesombongan," bisikku juga pelan ke dekat Bang Riswan.

"Andai roda kehidupan kita berputar ya, Bang," ucapku lagi, pelan, sembari menghapus bulir bening yang sudah terlanjur terjatuh.

"Maafkan abang, Neng. Ternyata perubahan hidup yang abang jalani, malah membuat Eneng menderita," bisiknya lagi.

"Perubahan hidup apa, Bang, memangnya apa yang berubah pada hidup Abang?" tanyaku, saling bicara berbisik dengan suamiku.

"Kalau tidak suka, bicara saja langsung, tidak usah bisik-bisik di belakang," sindir Samsiah pada aku dan Bang Riswan. Bapak, Kang Amran, dan Ela melihat ke arahku dengan penuh kecurigaan.

***
Jangan lupa vote

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang