Part 4B
"I-ini buat apa, Kang, uang sebanyak ini?" tanyaku.
"Buat kamu beli permen," bisiknya, lalu tertawa lepas, dan aku pun jadi ikut tertawa. Sedari aku kecil dulu, saat Kang Darman belum menikah dan masih tinggal di rumah ini, beliau memang selalu memberikan aku uang jajan. Kang Darman memang kakak terbaik buatku.
Abangku ini adalah seorang pekerja keras. Pergi ke kota besar hanya bermodalkan tekad kuat dan keinginan untuk merubah penghidupan. Dan sekarang, beliau sudah mampu menundukkan kerasnya persaingan hidup di kota besar Jakarta.
"Kang?"
"Kenapa, Ris."
"Jika uang sebanyak ini kubelikan permen, gigiku bisa keropos semua, Kang?"
Kembali dia tertawa, bahkan jauh lebih keras. Aku pun begitu, bahagia rasanya bisa sedekat ini dengan saudara seikatan darah. Seandainya saja saudara-saudaraku yang lainnya bisa bersikap seperti Kang Darman.÷÷÷÷÷÷÷
Sudah empat hari, semenjak kepulangan Kang Darman. Suamiku, Bang Riswan, belum pulang juga. Aku bingung, di mana suamiku sekarang. Aku harus mencarinya kemana. Bagaimana cara menghubunginya, sedangkan handphone pun Bang Riswan tidak punya.
Semua pakaiannya di lemari masih utuh, tidak ada satu pun yang Bang Riswan bawa. Anak-anakku, Yuli dan Neti, selalu menanyakan keberadaan ayahnya. Aku hanya bisa memberikan pengertian jika Ayah mereka sedang bekerja ke kota, dan beruntungnya di usia sekecil itu mereka bisa mengerti, walaupun aku tahu putri-putriku ini pasti sangat rindu dengan ayahnya.
"Assalamualaikum." Suara salam mengagetkan lamunanku, bergegas membuka pintu untuk mengetahui siapa yang datang.
"Waalaikumsalam," jawabku, sembari membuka pintu. Terlihat beberapa orang pegawai perkebunan berseragam berdiri di depan rumah, dengan banyak tumpukan barang-barang, berbagai macam. Sepertinya sembako lengkap, dengan beberapa dus susu formula. Juga beragam jajanan anak yang mahal, yang hanya ada di mini market."
"Maaf Teteh, permisi. Benar di sini rumah Risma Wulandari?" tanya salah seorang pegawai perkebunan itu.
"Benar, Kang, saya sendiri," jawabku, sedikit heran. "Ada perlu apa yah, Kang?"
"Oh, ini, Teh. Kami diperintahkan untuk mengantarkan barang-barang kebutuhan ini kerumah, Teteh," jawabnya. Terlihat, masih ada tiga orang pegawai lagi yang sedang mengangkat barang yang serupa menuju rumahku.
"I-ini semua buat saya?" tanyaku, sedikit gemetar. Karena kaget melihat sembako sebanyak ini, cukup untuk membuka sebuah toko kelontong sederhana.
"Iya, Teh," jawabnya, sembari meminta kawan-kawannya untuk memasukkan semua barang kebutuhan ke dalam rumah, setelah sebelumnya meminta ijin kepadaku. Terlihat beberapa tetangga berkumpul menyaksikan ini semua, karena memang jarang sekali karyawan-karyawan pabrik datang ke desa ini. Paling-paling hanya buruh biasa yang tidak berseragam yang bekerja sebagai buruh pemetik daun teh. Jika karyawan berseragam seperti ini, di kampung kami disebutnya "Orang kantor" dan ini sebuah peristiwa langka bagi mereka, melihat begitu banyak orang kantor datang ke rumah, bahkan mengangkut barang-barang.
"I-ini tidak salah alamat, 'kan? tanyaku takut-takut. Sembari melihat karyawan kantor itu bolak-balik menaruh sembako ke dalam rumah.
"Teteh benar, 'kan, Risma Wulandari, dengan dua anak Yuli dan Neti?" tanyanya untuk lebih meyakini.
"Iya, benar," jawabku lagi.
"Berarti kami tidak salah alamat," jawabnya, lantas mengambil photo-ku buat bukti katanya, juga memphoto semua barang-barang yang sudah dia antarkan.
"Maaf, Kang. Ini semua disuruh siapa?"
"Saya tidak tahu, Teh. Kami hanya mengikuti perintah saja," jawabnya, sembari pamit hendak balik ke tempat kerjanya.
"Eh, maaf, Kang, mau tanya sekali lagi."
"Tanya apa, Teh," jawabnya, sopan sekali sikap orang-orang kantor ini terhadapku.
"Berita itu benar ya, Kang. Jika Pak Muchtar Kusumateja, pemilik pabrik perkebunan sudah berpulang?" tanyaku, ingin memastikan desas-desus yang beredar di desa ini.
"Ohh, Big Boss. Benar, Teh. Baru tiga hari kemarin, meninggalnya. Pabrik dan perkebunan teh ini mah, mungkin cuma usaha iseng dia saja, Teh. Karena usahanya yang lebih besar masih jauh lebih banyak," jawabnya, sembari pamit meninggalkan rumahku.
Kembali menutup pintu, sembari memandangi bertumpuk-tumpuk barang di ruang tamu. Rasa heran dan bingung berkecamuk di dalam pikiranku.
'Siapa orang yang sudah memerintahkan, memindahkan isi satu toko sembako ke rumahku'
Selepas Salat Ashar, saat matahari sedari pagi bersembunyi di balik awan. Langit terlihat redup, udara terasa menyentuh lembut. Aku dengan kedua putriku, Yuli dan Neti berniat main ke rumah Emak, dekat sisi jalan utama kampung. Terakhir mengunjungi Emak saat Kang Darman datang empat hari yang lalu. Bukannya tidak ingin sering-sering ke rumah orang tua, tetapi terkadang omongan Bapak dan ketiga saudaraku yang rumahnya tidak jauh dari mereka, membuatku sedikit segan apabila ingin ke rumah besar ini.
Jujur saja, seandainya aku mau iri, bisa saja aku protes kepada Bapak, kenapa saudara-saudaraku yang lain beliau berikan tanah untuk membangun rumah. Sedangkan aku, dari tanah beserta rumah semua atas biaya suamiku sendiri yang mereka bilang miskin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )
RomanceKarya : Pena Asmara ( Gudang Cerita Online ) Seorang perempuan desa bernama Risma, selalu menjadi bahan hinaan dan hujatan dari keluarga besarnya karena kehidupan rumah tangganya yang dianggap miskin, tidak terkecuali dengan Riswan suaminya. Mereka...