Kubisikan pelan di telinga papah berulang-ulang, nafasnya mulai tersengal-sengal, sembari jemari tanganku mengusap lembut ujung rambutnya. Bersandar pada tepi ranjang tidur, dan suara alat itu lantas terdengar datar.
'Selamat jalan, Pah, semoga tenang di alam sana, kita semua hanya tinggal menunggu waktu saja' ucapku dalam diam.
"Innalillahi wainnailaihi rodziunn."
Aku tahu, papah sudah "hilang" air mata ini kembali jatuh membasahi punggung tangannya, saat aku menciumnya untuk yang terakhir kali.
Tante Sartika terlihat panik, berlari ke luar ruang perawatan untuk memberi tahu suster jaga. Tidak menunggu lama, Dokter dan Perawat juga datang, mereka langsung memeriksa kondisi papah.
Aku berdiri lantas berjalan keluar ruangan perawatan Papah. Om Bagas bergegas mendekati, dan aku hanya menggeleng tanpa bersuara, Dia tahu maksudnya, terdiam menunduk tidak lagi bicara.
Kupanggil Toni yang memilih untuk duduk menyendiri di pojok bangku tunggu.
"Papah sudah meninggal, Ton," ucapku lirih.
"Innalilahi wainnailaihi rodziunn."
"Tolong kamu urus semua, Ton," ucapku pelan.
"Siap, Pak." Toni lantas menghubungi nomor orang-orang yang bisa membantunya, dan aku memilih untuk pergi mencari musholla di area rumah sakit, menjalankan Salat Isya, berwudlu dan berdoa agar perasaanku menjadi lebih tenang, juga untuk mendoakan almarhum papah dan mamah.
Lingkungan tempat aku dan papah tinggal dirasa tidak cukup memungkinkan, dikarenakan faktor lingkungan sekitar yang mayoritas non muslim jika ingin diadakan acara tahlilan selama seminggu kedepan, agak sedikit kesulitan mencari orang-orang yang ingin ikut hadir untuk mendoakan. Jadi diputuskan untuk dilakukan di rumah Tante Sartika saja, dari acara prosesi pemandian hingga pemberangkatan jenazah.
Selesai acara tahlil hari pertama di rumah Tante Sartika, aku memutuskan untuk menyendiri di taman samping rumahnya.
Taman kecil dengan kolam ikan yang diapit dua buah lampu taman berbentuk bulat.Terbayangkan kondisi Papah yang sangat menyedihkan, entah apa yang terjadi di enam tahun terakhir selama aku tidak lagi bertemu dengannya.
"Mas Aries." Sebuah panggilan lembut menyadarkan aku dari lamunan, dan aku masih mengenal suara itu.
"Maharani?"
"Iya, Mas Aries, ini aku." Berhijab hitam-hitam, wajahnya lebih bercahaya, sepertinya sengaja mendatangiku di sisi rumah Tante Sartika.
"Sedang ada di sini, Ran?" tanyaku, mulai merasa tidak nyaman.
"Kamu kok tahu, aku berada di sini? tanyaku lagi.
"Tante Sartika yang memberi tahu aku, Mas, dan aku pun sengaja ingin menemuimu," jelas Maharani.
"Menemuiku, buat apa?" tanyaku, kembali mengalihkan pandangan ke arah kolam.
"Aku ingin meminta maaf atas masa lalu kita, Mas," jelasnya, pelan.
"Aku sudah melupakannya," jawabku singkat.
"Tetapi aku tetap harus meminta maaf, Mas," desaknya, terdengar seperti menahan tangis.
"Aku sudah memaafkanmu, Ran, percayalah ... Aku sudah memaafkanmu," jelasku lagi. Suasana kembali terasa hening. Maharani memang terlihat berbeda sekarang, dia sudah memakai hijab.
"Kamu menghilang kemana, Mas? Aku benar-benar merasa berdosa," sesalnya.
Aku menoleh sesaat ke arahnya, lantas kembali berucap.
"Ada hikmah dibalik kejadian kelam masa lalu, dan aku sudah mendapatkan manfaatnya, juga penggantinya."
"Aku pun begitu, Mas. Peristiwa menjijikkan itu pada akhirnya mampu menyadarkan dan merubah hidupku," jelas Maharani. Kami berdua memandang ke arah yang sama, pancuran kolam ikan.
"Alhamdulillah, jika seperti itu," jawabku, lalu berdiri dari kursi taman hendak kembali ke ruang utama. Tidak nyaman rasanya berduaan dengan perempuan yang bukan mahram-ku.
"Mas?"
"Kenapa, Ran?" jawabku. Sesaat setelah melewati belakang tubuhnya.
"Ijinkan aku untuk menebus semua dosa-dosaku, Mas," ucapnya pelan. Membuatku berhenti melangkah.
"Maksudnya apa, Ran?" tanyaku, tidak mengerti akan maksud ucapannya.
"Ijinkan aku mengabdi kepadamu, Mas," pintanya. Aku semakin tidak mengerti apa maksudnya.
"Mengabdi apa maksudnya, Ran?" tanyaku lagi.
"Jadikan aku istrimu, Mas," ucapnya, lalu mulai menangis, membuatku terperangah dibuatnya.
"Tidak mungkin, Ran, aku sudah mempunyai istri dan dua orang anak," jelasku kepada Maharani, memberikan dia pengertian.
"Aku tetap bersedia, Mas. Ijinkan aku mengabdi kepadamu."
"Maafkan aku, Rani. Aku yang tidak bisa," jawabku lagi, mulai ingin menjauhinya. Langkahku terhenti saat lengan bajuku direnggutnya.
"Bantu aku untuk menghilangkan rasa bersalah di hatiku, Mas ... aku mohon kepadamu," ucapnya memohon, mulai terisak-isak.
"Jika ingin menghilangkan rasa bersalah dalam hatimu, tidak harus seperti itu? Aku pun sudah memaafkan semuanya. Jadi lupakan saja, semua sudah kuanggap selesai," tegasku, menepis pelan pegangan tangannya di lengan bajuku.
"Jadi budakmu pun aku ikhlas, Mas," mohonnya tersedu, tetap memaksa.
"Aku yang tidak ikhlas untuk mendua, Rani. Aku tidak mungkin menyakiti hati istriku. Pergilah, kisah tentang kita sudah terkubur mati."
Aku lalu meninggalkan Maharani seorang diri di sisi taman samping rumah dekat pinggir kolam, dalam suasana hening dan tenang. Hanya suara isak tangisnya yang terdengar.
'Permintaan yang tidak mungkin akan
ku-qabulkan, karena pasti akan menyakiti hati enengku'***
Novel ini sudah tamat di karya karsahttps://karyakarsa.com/Gleoriud/ternyata-kaya-tujuh-turunan-karya-pena-asmara
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )
RomanceKarya : Pena Asmara ( Gudang Cerita Online ) Seorang perempuan desa bernama Risma, selalu menjadi bahan hinaan dan hujatan dari keluarga besarnya karena kehidupan rumah tangganya yang dianggap miskin, tidak terkecuali dengan Riswan suaminya. Mereka...