7b

4.2K 262 9
                                    

Part 7B

Benar saja, acara dimulai dengan pertunjukan musik, dengan penyanyi artis-artis dari pencarian bakat di televisi yang jujur saja aku sendiri tidak tahu siapa namanya, jika bukan pembawa acara yang memberi tahu. Karena, punya pesawat televisi pun baru sekitar dua Minggu ini, itu pun dikuasai oleh kedua anak-anakku, dengan banyak menonton film kartun.

Ela dan Samsiah sepertinya mengenal nama tiap-tiap penyanyi yang tampil di panggung. Tidak malu-malu, mereka dan suami-suaminya ikut berjoget di depan panggung bersama undangan yang lain. Warga kampungku, dan sebagian karyawan kantor.

Sedangkan aku, di tengah keriuhan dan suasana semarak, hatiku merasa kosong. Pikiranku selalu teringat dengan Bang Riswan. Di saat kehidupanku sudah lebih membaik, ayahnya anak-anak malah tidak ada.

'Kamu di mana sih, Bang?'

Acara musik sudah selesai, terlihat beberapa petugas merapihkan panggung hiburan dengan cepat. Panitia penyelenggara sepertinya benar-benar sibuk. Terdengar bisik-bisik jika Bos Besar pengganti Almarhum Pak Muchtar Kusumateja sudah hadir. Aku dan kedua anakku fokus menatap ke atas panggung, saat sebuah suara terdengar memanggilku pelan.

"Neng ...."

Kumengenali suara itu, juga terdengar oleh kedua anakku.

"Bang Riswan ... bibirku gemetar saat menyebut namanya, air mataku sudah mengembang. Suamiku, masih menggunakan pakaian dan sandal yang sama seperti saat terakhir dia meninggalkan rumah.

Ayah ....!" Kedua anakku turun dan langsung memeluk ayahnya, jelas terlihat jika mereka benar-benar menyimpan kerinduan.
Aku pun memeluk tubuh Bang Riswan, tidak kuhiraukan ratusan pandangan mata yang mungkin sedang melihat ke arah kami.

Bang Riswan menciumi kedua anak-anaknya, matanya pun terlihat menangis.

"Abang ke mana? Jahat sekali Abang tidak memberitahu," bisikku, dengan suara terisak menahan tangis. Bang Riswan hanya tersenyum, sembari mengusap basahan air di pipiku.

"Dasar orang susah tidak punya malu," sindir Bapak, dengan penuh kebencian.

"Iya, bikin malu keluarga kita saja, datang dengan pakaian lusuh seperti itu," ucap Bang Amran, nyinyir. Tidak kuhiraukan ucapan mereka, hatiku sedang bahagia, kami berempat masih saling merangkul.

"Bikin malu! Susah saja pakai acara peluk-pelukan segala macam," sindir Bapak lagi.

Aku berucap pelan, sembari terus menangis.

"Eneng dan anak-anak, kangen, Bang." Sembari mengusap air mata.

"Abang juga kangen dengan kalian, keluarga kecil abang," ucap Bang Riswan, lalu menggendong Neti Putri bungsunya.

"Norak ih, lebay banget," celetuk Samsiah, wajah sinis pun terlihat dari wajah Ela juga yang lainnya. Hanya Emak yang kulihat tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca.

"Andai saja aku tidak ingin tahu siapa penerus dari Pak Muchtar, sudah kutinggal pulang!" cabik Tohir.

"Sudah Risma, lebih baik kamu keluar dulu saja dengan si pengangguran yang tidak bertanggung jawab tersebut, dari pada ngerusak acara saja," sindir Bapak. Tetapi walaupun kami terlihat rusuh, tidak ada dari pihak panitia yang menegur, mungkin juga karena mereka tidak perduli, atau juga tidak mendengar ucapan keras Bapak.

"Iya, nih, bikin mood jadi anjlok saja," sindir Kang Amran yang duduk di belakangku.

"Sudah yuk, Bang ... kita pulang saja."

Aku tidak ingin ribut di tempat seramai ini, yang waras lebih baik mengalah saja. Kembali ke rumah, menyambut kepulangan suamiku tercinta. Bang Riswan, separuh nyawaku.

***
Vote please

Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang