Part 9B
"Semoga Emak mau ya, Bang," harapku, sembari berbalik langkah menuju Emak. Sementara Neti si bungsu sudah ada dalam gendongan wanita berwajah baik berpakaian mirip perawat, sepertinya Bang Riswan sudah mempersiapkan semuanya.
Tiga orang pengawal Bang Riswan tanpa diperintah mengikuti langkahku. Sebagian yang lain mengikuti suamiku menuju tempat parkir kendaraan. Semua orang seakan-akan sudah mengenalku dengan sangat dekat. Mereka berlaku seolah-olah aku adalah sahabat dekat. Kehadiran pengawal pribadi Bang Riswan cukup membantu mempercepat langkah ke arah Emak.
"Teh ... Teteh!" Ela dan Samsiah memanggilku seakrab mungkin, tak kuhiraukan mereka yang mencoba mendekat tetapi terhalang para bodyguard. Emak, wanita baik tetapi selalu mengalah ini menatapku dengan mata berair, sesekali terisak. Sementara Bapak tertunduk sedikit membuang muka. Aku tidak bicara apa pun, langsung menarik tangannya pelan agar mau mengikutiku, dan beliau menurut.
"Risma, maafkan akang, jangan putus kontrak akang di perusahaan," ucap Kang Amran, mencoba mendekati tetapi tertahan oleh salah satu orang yang menjagaku.
"Teh, Teteh ... Samsiah dan Ela minta maaf, Teh." Masih sempat aku mendengar suara mereka. Kuteruskan melangkah sembari menuntun Emak keluar dari ruangan.
Terlihat pria-pria berdasi berpakaian rapih serta wanita-wanita berpakaian bagus sedikit menunduk sembari tersenyum memberikan penghormatan kepadaku. Seorang wanita kampung tamatan sekolah menengah pertama.
Mobil Bang Riswan sudah menunggu kami, kendaraan mewah yang hanya pernah kulihat di televisi saat sinetron ikatan cinta yang dipakai Mas Al, ternyata suamiku juga punya. Lambang kendaraannya yang membentuk segitiga yang membuatku mudah mengingat, walaupun mungkin jenisnya yang berbeda.
Bang Riswan langsung ingin mencium tangan Emak, saat Emak sudah masuk ke dalam mobil. Agak canggung, cepat-cepat Emak menarik tangannya hingga tidak sampai menyentuh bibir Bang Riswan. Sepertinya setelah mengetahui siapa menantunya yang sebenarnya, Emak merasa tidak enak hati melihat pangkat dan kedudukan suamiku.
Bang Riswan menyadari itu, lantas berucap pelan."Mak, Riswan tetap menantu Emak, anak Emak juga, tidak ada yang berubah," ucap suamiku. Mencoba memberikan pengertian.
"Tetapi Emak hanya perempuan kampung yang bodoh dan tidak berpendidikan, tidak pantas tangannya dicium kamu, Wan," keluh Emak, pelan. Bang Riswan kembali tersenyum.
"Tetapi itu tidak merubah apa pun, Mak.
Riswan tetap anak Emak juga." Lalu mengambil tangan Emak kembali dan menciumnya sekali lagi, kali ini Emak membiarkan, walau masih terlihat canggung.Mobil Bang Riswan dengan menggunakan sopir pribadi mulai meninggalkan lokasi pabrik. Semuanya ada tiga mobil, dengan dua mobil pengawalan berjalan beriringan menuju desa tempat kami tinggal.
Sepanjang jalan menuju pintu keluar, banyak karyawan-karyawan pabrik yang memang sengaja menunggu mobil yang ditumpangi suamiku lewat. Mereka meng'elu-elukan suamiku dengan penuh kegembiraan dan keceriaan, sepertinya mereka senang dengan kebijakan yang diambil Bang Riswan.
Sebagian karyawan malah ada yang berani mendekat, hanya ingin bersalaman dengan Bang Riswan. Karena tetanggaku sendiri bercerita, jika Pak Muchtar Kusumateja sendiri hampir tidak pernah datang mengunjungi pabrik miliknya. Mungkin karena tidak sempat dan faktor kesibukan. Makanya, kedatangan bos besar di pabrik ini adalah seperti peristiwa langka, dan mereka tidak akan melewatkan hal ini.
Sebenarnya lokasi perkampungan kami ada di belakang pabrik tersebut, hanya memang dibatasi oleh kebun-kebun teh seluas ratusan hektar, jadi terbilang jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki.
Mobil yang kami kendarai sudah sampai di sisi jalan yang biasa kami turun, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju ke rumah kami. Akan tetapi mobil terus saja berjalan sampai melewati juga depan rumah Emak.
"Bang, bilang sopir, rumah kita sudah terlewat, Bang?" tanyaku ke Bang Riswan, suamiku tersenyum, sedikit tertawa geli.
"Maaf, abang lupa bilang, Neng, jika sekarang kita pindah ke tempat yang baru," jawab suamiku. Sementara kedua anakku terus bercakap-cakap dengan neneknya.
"Tempat baru, Bang?" Bang Riswan tersenyum saja, tidak menjawab pertanyaanku. Tertegun sesaat, setelah perkampungan terlewat mobil terus saja berjalan dengan sedikit menanjak, dan setahuku sudah tidak ada lagi bangunan rumah sesudah melewati perkampungan kami.
Tidak, sekarang ada satu, dan mungkin akan menjadi icon desa kami.
Rumah Mewah di atas bukit.
"Bang?" tanyaku pelan, sembari tetap merangkul sebelah tangannya.
"Iya, Neng."
"Rumah Mewah di atas bukit itu rumah Abang?" Suamiku kembali tersenyum, sembari mengelus-elus lembut lenganku.
"Itu rumah kita, Neng. Rumah abang, Eneng, Yuli juga Neti," jawabnya.
"Terus, rumah kita yang di kampung bagaimana, Bang?"
"Nanti saja kita pikirkan lagi, Neng. Sudah hampir sampai kita sekarang di rumah "Ketulusan Cinta," jelas Bang Riswan
"Ketulusan Cinta?" tanyaku, meminta penjelasan.
"Iya, Neng, rumah baru kita ini, abang namakan Rumah Ketulusan Cinta. Karena cinta Eneng yang selalu utuh dan setia, walaupun hidup abang susah," ucap Bang Riswan.
"Karena denyut nadi Abang, adalah detak jantung, eneng," balas ucapku, sembari memeluk tubuhnya erat. Tidak kuhiraukan Emak yang duduk di belakang kami, dan aku mencium lembut pipi suamiku. Pria tertampan di muka bumi. Pemilik segala cinta dan kesetiaan kutambatkan.
Hingga aku atau suamiku yang mendahului "Pulang" ke alam keabadian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata Kaya Tujuh Turunan ( Gudang Cerita Online )
RomanceKarya : Pena Asmara ( Gudang Cerita Online ) Seorang perempuan desa bernama Risma, selalu menjadi bahan hinaan dan hujatan dari keluarga besarnya karena kehidupan rumah tangganya yang dianggap miskin, tidak terkecuali dengan Riswan suaminya. Mereka...